Empat keadaan batin yang luhur telah diajarkan
oleh Sang Buddha:
1. Cinta atau Cinta kasih (metta)
2. Welas Asih (karuna)
3. Turut berbahagia (mudita)
4. Keseimbangan batin (upekkha)
Dalam bahasa
Pali, bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Buddhis, empat keadaan batin
ini dikenal juga dengan nama Brahma-vihara. Istilah ini dapat juga diungkapkan
sebagai keadaan batin yang sempurna, luhur atau mulia; atau seperti keadaan
batin para Brahma atau dewa.
Empat keadaan
batin ini dikatakan sempurna atau luhur karena merupakan cara bertindak dan
bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup (sattesu samma
patipatti). Keempatnya menyediakan jawaban terhadap semua situasi yang
muncul dalam kontak sosial. Empat keadaan batin luhur ini merupakan pereda
tekanan yang hebat, pencipta kedamaian dalam konflik sosial, serta penyembuh
terhadap luka-luka yang diderita dalam perjuangan hidup. Empat keadaan batin
luhur ini dapat menghancurkan rintangan-rintangan sosial, membangun komunitas
yang harmonis, membangunkan kemurahan hati yang telah lama tertidur dan
terlupakan, menghidupkan kembali kebahagiaan dan harapan yang telah lama ditinggalkan,
serta mendorong persaudaraan dan kemanusiaan untuk melawan kekuatan egoisme.
Brahma-vihara
bertentangan dengan keadaan batin yang penuh keben- cian, dan oleh sebab itulah
ia dikatakan bersifat Brahma, pemimpin tertinggi (yang tidak abadi) dari alam-alam
surga tingkat atas dalam gambaran Buddhis tradisional mengenai alam semesta.
Akan tetapi, berbeda dengan banyak gambaran mengenai dewa-dewi, baik di Timur
maupun Barat, yang oleh para pemujanya sendiri dikatakan dapat menunjukkan
kemarahan, kemurkaan, iri hati; Brahma dalam Buddhisme dinyatakan telah
terbebas dari kebencian. Oleh sebab itu, seseorang yang dengan giat
mengembangkan empat keadaan batin luhur ini, melalui tindakan dan meditasi,
dapat dikatakan telah menjadi setara dengan Brahma (brahma-samo). Jika
empat keadaan batin luhur menjadi pengaruh yang dominan dalam batin orang
tersebut, maka ia akan terlahir kembali dalam dunia yang sesuai, yaitu
alam-alam Brahma. Oleh sebab itu, empat keadaan batin ini disebut seperti dewa
atau Brahma.
Empat keadaan
batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya
menjadi tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kita rasakan ”di
rumah”; empat keadaan batin ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang
ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera dilupakan. Den – gan kata lain,
batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini. Empat keadaan
luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yang tak terpisahkan, dan kita harus
sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari
Metta Sutta, Syair Cinta Kasih:
Ketika
berdiri, berjalan, duduk, berbaring, Selagi tiada lelap Ia tekun mengembangkan
kesadaran ini Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma Ke-empat keadaan ini –cinta
kasih, welas asih, turut berbahagia, dan ke- seimbangan batin– dikenal juga
sebagai keadaan tanpa batas (appamañña), karena, dalam kesempurnaan
dan sifat sejatinya, keempatnya tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan
dalam hal jangkauannya terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini
haruslah tidak eksklusif dan tidak hanya mencakup sebagian dari makhluk; tidak
dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-prasangka. Batin yang telah
mencapai Brahma-vihara yang tak ter- batas ini tidak akan menyimpan kebencian
terhadap bangsa, suku, agama maupun kelas/golongan manapun.
Akan tetapi,
jika sikap mental luhur ini tidak berakar kuat, tentu tidak akan mudah bagi
kita untuk berupaya mewujudkan ketanpa-sekatan maupun menghindarkan diri dari
keberpihakan. Dalam banyak kasus, untuk mencapainya kita harus menggunakan
empat kualitas ini tidak hanya sebagai prinsip berperilaku dan objek refleksi
saja, namun juga sebagai subjek dari meditasi. Meditasi ini disebut
Brahma-vihara-bhavana, pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur.
Tujuan praktisnya adalah untuk mencapai, dengan bantuan dari keadaan-keadaan
luhur ini, tahap-tahap konsentrasi mental yang tinggi yang disebut jhana,
“pencerapan meditatif”. Meditasi terhadap cinta, welas asih, dan turut
berbahagia masing-masing dapat menghasilkan pencapaian dari tiga pencerapan
yang pertama. Sedangkan meditasi terhadap ke- seimbangan batin akan menuntun
pada pencapaian jhana keempat yang mana ketenangan batin merupakan faktor yang
paling signifikan.
Secara umum,
latihan meditasi yang tekun akan menghasilkan dua efek tertinggi: pertama,
empat kualitas ini akan tenggelam masuk ke dalam hati sehingga keempat kualitas
tersebut menjadi sikap yang spontan dan tidak mudah luntur; kedua, meditasi
tersebut akan memunculkan dan mem-pertahankan perluasan yang tanpa batas dari
empat kualitas ini dan menyebarkan jangkauan penerimaannya terhadap semua
mahkluk. Sebenarnya, instruksi rinci yang diberikan dalam naskah-naskah Buddhis
mengenai latihan empat meditasi ini dengan jelas dimaksudkan untuk membuka
secara bertahap ketanpabatasan dari keadaan luhur tersebut. Empat keadaan batin
yang luhur ini se- cara sistematis menghancurkan semua rintangan yang membatasi
perwujudan suatu tempat atau individu tertentu.
Dalam latihan
meditasi tersebut, pemilihan orang yang akan dipancarkan cinta, welas asih atau
turut berbahagia, dimulai dari yang mudah ke yang makin sulit. Sebagai contoh,
ketika bermeditasi cinta kasih, seseorang mulai dengan kehendak untuk hal-hal
baik bagi dirinya sendiri, kemudian meng- gunakannya sebagai titik acuan untuk
perluasan bertahap: “Sama seperti saya yang ingin bahagia dan bebas dari
derita, demikian juga makhluk lain, semoga semua makhluk bahagia dan bebas dari
penderitaan!” Kemudian ia memper- luas pikiran cinta kasihnya kepada orang atau
siapapun yang ia hormati dan cintai, misalnya seorang guru; kemudian kepada
orang-orang yang ia sangat sayangi, kepada orang-orang yang netral, dan
terakhir kepada musuh-musuhnya ataupun orang-orang yang tidak disukai. Karena
meditasi ini berkaitan dengan kesejahteraan makhluk hidup, seseorang seharusnya
tidak memilih objek orang yang telah meninggal maupun orang yang dapat
menimbulkan perasaan/ketertarikan seksual.
Setelah mampu
mengatasi tugas yang tersulit yaitu mengarahkan pikiran cinta kasih kepada
orang-orang yang tidak disukai, ia sekarang seharusnya te- lah “menghancurkan
rintangan” (sima-sambheda). Tanpa membeda-bedakan keempat tipe orang
yang telah disebutkan di atas, ia memancarkan cinta kasihnya kepada semua
secara sama dan merata. Dalam tahap latihan ini, ia akan mencapai tingkat
konsentrasi yang lebih tinggi: dengan munculnya gambaran refleksi mental (patibhaganimitta),
“konsentrasi mendekati” (upacara samadhi) akan telah tercapai, dan
kemajuan lebih jauh akan menuntun menuju “konsentrasi pencapaian” (appana)
dari jhana pertama, kemudian ke jhana- jhana berikutnya yang lebih tinggi.
Dalam hal
perluasan ruang, latihan meditasi ini dimulai dari lingkungan diri sendiri dulu
seperti keluarga, kemudian diperluas ke rumah-rumah tetangga, ke seluruh jalan,
kota, negara, negara lain, dan seluruh dunia. Dalam “perluasan arah”, pikiran
cinta kasih seseorang diarahkan dulu ke arah timur, kemudian ke barat, utara,
selatan, tengah, atas (zenith) dan bawah (nadir).
Prinsip yang
sama digunakan juga dalam pengembangan meditatif ter- hadap welas asih, turut
berbahagia, dan keseimbangan batin, dengan variasi yang tepat dalam pemilihan
orang-orang yang dituju. Perincian latihan ini lebih lanjut dapat ditemukan
dalam naskah-naskah. (lihat Visuddhimagga, Bab IX)
Tujuan akhir dari
pencapaian Brahma-vihara-jhana ini adalah untuk meng- hasilkan suatu keadaan
batin yang dapat menjadi landasan kokoh untuk penembusan pemahaman atau
pencapaian pencerahan mengenai sifat sejati dari semua fenomena, yaitu
ketidak-kekalan, dapat mengalami penderitaan, dan tanpa inti. Batin yang telah
mencapai pencerapan meditatif yang dipengaruhi oleh empat keadaan luhur ini
akan menjadi murni, damai, teguh, terpusat dan bebas dari egoisme yang kasar.
Dengan demikian, batin akan siap untuk pembebasan akhir yang hanya dapat
dilengkapi melalui pencerahan.
Pembahasan
sebelumnya menunjukkan ada dua cara mengembangkan keadaan batin yang luhur:
pertama, melalui tingkah laku dan pengarahan pikiran yang tepat; dan kedua,
melalui metode meditasi yang menuju pada pencerapan-pencerapan. Kedua cara ini
akan membantu satu sama lain. Latihan meditasi secara bertahap akan membantu
menimbulkan cinta, welas asih, kebahagiaan dan keseimbangan batin menjadi
spontan. Latihan ini juga akan membuat batin lebih teguh dan tenang dalam
menghadapi berbagai masalah hidup yang menyakitkan yang menantang kita untuk
mem-pertahankan empat kualitas luhur ini dalam pikiran, ucapan maupun
perbuatan.
Di sisi lain,
jika tingkah laku seseorang semakin banyak diarahkan oleh empat keadaan luhur ini,
batin akan memendam semakin sedikit sakit hati, tekanan dan ketersinggungan;
gema-gema yang seringkali secara halus menyusup masuk pada saat meditasi,
membentuk yang disebut “belenggu kegelisahan”. Kehidupan dan pikiran kita
sehari-hari memiliki pengaruh yang kuat terhadap batin saat meditasi; hanya
apabila celah diantara keduanya disempitkan secara terus menerus barulah ada
kesempatan untuk kemajuan meditasi yang mantap dan pencapaian tujuan tertinggi
dari latihan kita.
Pengembangan
meditatif dari keadaan batin yang luhur ini dapat dibantu dengan refleksi yang
berulang-ulang terhadap kualitas-kualitas keadaan luhur tersebut, manfaat yang
ditawarkan oleh keadaan luhur dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
sifat-sifat yang bertentangan dengan keadaan luhur tersebut. Seperti yang
dikatakan oleh Buddha, “Apa yang seseorang pikirkan dan refleksikan selama
jangka waktu yang panjang, ke sanalah batinnya akan condong dan mengarah.”
Kutipan
mengenai Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha
I. Dengan
ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati
yang terisi cinta kasih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat;
juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan
di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi cinta kasih,
yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas
dari kesedihan.
II. Dengan ini,
para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang
terisi welas asih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga
ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di
mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi welas asih, yang
melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari
kesedihan.
III. Dengan
ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati
yang terisi turut berbahagia, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan
keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan
menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang
terisi turut berbahagia, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas
dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. Kutipan mengenai Empat Keadaan Luhur
dari Wejangan Sang Buddha
IV. Dengan
ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati
yang terisi keseimbangan batin, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan
keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan
menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang
terisi dengan keseimbangan batin, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak
terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. – Digha Nikaya 13.
Perenungan
terhadap Empat Keadaan Luhur
I.Cinta
(Metta)
Cinta, tanpa
nafsu untuk memiliki, memahami dengan baik bahwa dalam hakikat tertinggi,
tidaklah ada kepemilikan maupun pemilik: inilah cinta yang tertinggi. Cinta,
tanpa berbicara dan berpikir mengenai “Aku”, memahami dengan baik bahwa apa
yang dinamakan “Aku” sebenarnya hanyalah delusi. Cinta, tanpa memilih maupun
mengecualikan, memahami dengan baik bahwa melakukan hal tersebut (diskriminasi)
berarti menciptakan kualitas sifat-sifat yang bertentangan dengan cinta itu
sendiri: perasaan tidak suka, kejengkelan maupun kebencian. Cinta, merangkul
semua makhluk: kecil maupun besar, jauh maupun dekat, baik di darat, air,
maupun udara. Cinta, merangkul semua makhluk tanpa memihak, bukan hanya
terhadap orang-orang yang berguna, menyenangkan dan kita sukai. Cinta,
merangkul semua makhluk, baik yang memiliki batin luhur maupun rendah, batin
yang baik ataupun jahat. Mereka yang berhati mulia dan baik dirangkul karena
cinta mengalir ke mereka secara spontan. Mereka yang berhati rendah dan jahat
juga dirangkul karena mereka lah yang sangat membutuhkan cinta. Banyak dalam
diri mereka, benih-benih kebajikan mungkin telah mati karena kurangnya
kehangatan untuk dapat tumbuh dan bertunas, karena benih itu telah musnah
akibat kedinginan dalam dunia yang tanpa cinta. Cinta, merangkul semua makhluk,
memahami dengan baik bahwa kita semua sama-sama merupakan pengembara dalam
siklus eksistensi – bahwa kita semua mengalami hukum yang sama mengenai
penderitaan. Cinta, bukan api sensasi yang membakar, menghanguskan dan
menyiksa, yang menyebabkan lebih banyak luka daripada yang dapat ia obati –
yang seketika menyala terang, dan tiba-tiba padam, menyisakan banyak perasaan
dingin dan kesepian dibandingkan sebelumnya. Melainkan, cinta yang terulur
bagaikan tangan yang lembut namun kokoh kepada makhluk-makhluk yang sakit dan
bermasalah, tidak berubah dalam hal perasaan simpatiknya, tanpa kebimbangan,
tidak menyurut ketika men-dapatkan respon apapun. Cinta yang memberikan
kesejukan yang nyaman kepada mereka yang terbakar oleh api penderitaan dan
nafsu; yang merupakan kehangatan pemberi kehidupan bagi mereka yang
ditinggalkan dalam padang pasir kesepian yang dingin, bagi mereka yang
gemetaran kedinginan dalam kebekuan dunia tanpa cinta; bagi mereka yang hatinya
seolah telah menjadi kosong dan kering akibat panggilan berulang-ulang meminta
pertolongan yang tak kunjung tiba, akibat perasaan putus asa yang paling dalam.
Cinta, yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti,
memahami dan siap untuk membantu. Cinta, yang merupakan kekuatan sekaligus
pemberi kekuatan: inilah cinta tertinggi. Cinta, yang oleh “Ia yang Telah
Tercerahkan” disebut sebagai “pembebasan dari hati”, “keindahan yang paling
luhur”: inilah cinta tertinggi. Dan apa perwujudan tertinggi dari cinta?
Menunjukkan
kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut
ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh
Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
II. Welas Asih (Karuna)
Dunia menderita.
Namun kebanyakan manusia menutup mata dan telinganya. Mereka tidak melihat
aliran air mata yang terus mengalir dalam kehidupan; mereka tidak mendengar
jeritan dan ratap tangis kesedihan yang secara terus menerus menyelubungi dunia
ini. Kesedihan dan kesenangan kecil mereka sendiri telah menghalangi pandangan
mereka, menulikan telinga mereka. Terikat oleh sikap mementingkan diri sendiri,
hati mereka berubah menjadi kaku dan sempit. Dengan hati yang kaku dan sempit,
bagaimana mereka dapat berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, untuk
menyadari bahwa dengan terlepas dari kemelekatan egois barulah dapat mencapai
keterbebasan dari penderitaan? Welas asihlah yang menyingkirkan penghalang
berat tersebut, membuka pintu menuju pembebasan, membuat hati yang sempit
menjadi seluas dunia. Welas asih menyingkirkan beban berat yang ada di hati,
beban yang melumpuhkan; welas asih memberi sayap bagi mereka yang berada dalam
keadaan diri yang rendah.
Melalui welas
asih, fakta adanya penderitaan akan dengan jelas selalu hadir dalam batin kita,
bahkan pada masa-masa ketika kita secara pribadi sedang terbebas dari
penderitaan. Welas asih akan memberi kita pengalaman yang kaya mengenai
penderitaan, sehingga menguatkan kita untuk mengha-dapinya, ketika penderitaan tersebut
menimpa diri kita. Welas asih membuat kita bersyukur dan menghargai nasib kita
dengan menunjukkan pada kita bagaimana kehidupan pihak lain, yang seringkali
jauh lebih sukar dan menyedihkan dibanding hidup kita.
Lihatlah
perjalanan tanpa akhir makhluk-makhluk, manusia dan hewan, terbebani oleh
kesedihan dan rasa sakit! Beban yang ada pada setiap dari mereka, juga telah
kita bawa melalui rentetan kelahiran berulang yang tak terukur dalamnya dari
suatu masa yang sangat lampau. Lihatlah ini, dan bukalah hatimu terhadap welas
asih! Dan kesengsaraan ini mungkin saja menjadi nasib kita lagi! Ia yang tanpa
welas asih sekarang, suatu saat akan menangis menyesalinya. Jika perasaan
simpatik terhadap pihak lain sangat sedikit, perasaan simpatik ini juga akan
kita capai melalui pengalaman diri sendiri yang panjang dan menyakitkan. Inilah
hukum yang luar biasa dari kehidupan. Pahamilah ini, jagalah dirimu!
Makhluk-makhluk
tenggelam dalam ketidakpedulian (ignorance), tersesat dalam delusi,
tergesa-gesa dari satu penderitaan ke yang lain, tidak mengetahui penyebab
sesungguhnya, tidak tahu bagaimana melarikan diri darinya. Penembusan pemahaman
terhadap hukum universal mengenai penderitaan ini merupakan landasan nyata dari
welas asih yang kita miliki, bukanlah karena adanya fakta penderitaan tertentu
saja.
Dengan
demikian, welas asih kita juga akan mencakup mereka yang saat ini mungkin
sedang bahagia, namun bertindak dengan batin yang jahat dan terdelusi. Dalam
perbuatan yang mereka lakukan saat ini, kita akan dapat melihat masa depan
mereka yang penuh kesedihan, dan karenanya welas asih akan muncul. Welas asih
dari seseorang yang bijaksana tidak akan menyebabkannya menjadi korban dari
penderitaan. Pikiran, kata-kata dan perbuatannya penuh belas kasih. Akan
tetapi, hatinya tidaklah bimbang; sebagaimana adanya, jernih dan tenang. Dengan
bagaimana lagi ia dapat membantu?
Semoga welas
asih demikian dapat tumbuh dalam hati kita! Welas asih yang merupakan keagungan
hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami, dan siap untuk membantu. Welas
asih yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah welas asih
tertinggi. Dan apa perwujudan tertinggi dari welas asih?
Menunjukkan
kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut
ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh
Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
III. Turut berbahagia (Mudita)
Tidak hanya terhadap welas asih, namun juga
terhadap turut berbahagia, bukalah hatimu!
Kecil memang,
porsi kebahagiaan dan kegembiraan yang terbagi ke makhluk-makhluk! Ketika
secercah kecil kebahagiaan datang kepada mereka, maka kamu dapat ikut
berbahagia bahwasanya satu berkas kegembiraan telah membelah kegelapan dalam
hidup mereka, dan mengusir kabut kelabu dan muram yang membungkus hati mereka.
Hidupmu akan
meraih kegembiraan dengan berbagi kebahagiaan orang lain seakan-akan sebagai
kebahagiaanmu sendiri. Tidak pernahkah kamu mengamati bagaimana dalam
momen-momen kebahagiaan, karakteristik seseorang dapat berubah dan menjadi
cerah dengan kegembiraan? Tidak pernahkah kamu memperhatikan bagaimana
kegembiraan membangkitkan manu- sia ke dalam aspirasi dan perbuatan yang mulia,
melampaui kapasitas normal mereka? Bukankah pengalaman demikian akan mengisi
hatimu sendiri dengan berkah kegembiraan? Ada pada dirimu sendiri kemampuan
untuk mening- katkan pengalaman kebahagiaan simpatik sedemikian, dengan
menghasilkan kebahagiaan dalam diri orang lain, dengan membawakan mereka
kegembiraan dan kenyamanan.
Mari kita
mengajarkan suka cita yang sesungguhnya kepada manusia! Banyak yang telah
melupakannya. Kehidupan, meski penuh dengan lara nestapa, juga membawakan
sumber-sumber kebahagiaan dan suka cita, tidak disadari oleh banyak orang. Mari
kita mengajarkan orang-orang untuk mencari dan menemukan suka cita sesungguhnya
dalam diri mereka dan untuk turut berbahagia atas suka cita orang lain! Mari
kita ajarkan mereka untuk menyingkapkan suka cita mereka pada derajat yang
semakin mulia.
Suka cita
yang luhur dan mulia tidaklah asing dalam ajaran Ia yang Telah Tercerahkan.
Secara keliru ajaran Buddha kadangkala dikira sebagai ajaran yang penuh
kemurungan. Jauh dari itu, sebenarnya Dhamma (ajaran Buddha/ Kebenaran)
menuntun kita selangkah demi selangkah menuju kebahagiaan yang bahkan semakin murni
dan agung. Suka cita yang luhur dan mulia adalah penolong dalam jalan menuju
lenyapnya penderitaan. Bukanlah ia yang depresi dan tertekan dalam kesedihan,
melainkan ia yang memiliki kebahagiaan, yang dapat menemukan keheningan yang
jernih yang menuntun pada keadaan batin yang kontemplatif. Dan hanya batin yang
hening damai dan terpusat yang dapat mencapai kebijaksanaan yang membebaskan.
Semakin luhur
dan mulia suka cita orang lain, semakin kukuh kebahagiaan simpatik dalam diri
kita sendiri. Penyebab turut berbahagianya diri kita ter- hadap suka cita pihak
lain adalah karena kehidupan mereka yang mulia akan menjaga mereka dalam
kebahagiaan saat ini maupun di kehidupan sesudahnya. Penyebab yang lebih mulia
turut berbahagianya diri kita terhadap suka cita pihak lain adalah keyakinan
mereka dalam Dhamma, pemahaman mereka mengenai Dhamma, kehidupan mereka yang
mengikuti Dhamma. Marilah kita memberikan bantuan Dhamma kepada mereka! Marilah
kita berjuang untuk menjadikan diri kita semakin mampu menawarkan bantuan
tersebut! Turut berbahagia berarti keagungan hati dan pikiran yang luhur yang
mengerti, memahami, dan siap untuk membantu. Turut berbahagia yang merupakan
kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: adalah kebahagiaan tertinggi. Dan apa
perwujudan tertinggi dari turut berbahagia?
Menunjukkan
kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya pen- deritaan, jalan tersebut
ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh
Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
IV. Keseimbangan Batin (Upekkha)
Keseimbangan
batin adalah kondisi seimbangnya batin yang sempurna dan tak tergoyahkan, yang
berakar dalam penembusan pemahaman.
Melihat dunia
di sekitar kita, dan melihat ke dalam hati kita sendiri, mengerti dengan jelas
betapa sulitnya untuk mencapai dan mempertahankan keseimbangan batin. Melihat
ke dalam kehidupan, kita perhatikan bagaimana ia bergerak antara hal-hal yang
kontras: keuntungan dan kehilangan, terkenal dan tidak terkenal, dipuji dan
dihina, kebahagiaan dan penderitaan. Kita merasakan bagaimana hati kita
merespon terhadap semua ini dengan perasaan bahagia dan kesedi- han, semangat
dan keputus-asaan, kekecewaan dan kepuasan, harapan dan rasa takut.
Gelombang-gelombang emosi ini melambungkan kita ke atas dan juga mencampakkan
kita ke bawah; dan belum lama kita dapat istirahat sebentar, kita sudah diseret
oleh gelombang baru berikutnya. Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk terus
menapaki puncak kejayaan? Bagaimana bisa kita mendirikan bangunan kehidupan
kita di tengah-tengah samudera keberadaan yang tak pernah diam ini, jika bukan
di atas pulau keseimbangan batin?
Sebuah dunia
dimana seporsi kecil kebahagiaan dapat terbagi ke makhluk-makhluk yang dicapai
setelah melalui banyak kekecewaan, kegagalan dan kekalahan; Sebuah dunia dimana
hanya keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, lagi dan lagi, yang
menjanjikan kesuksesan; Sebuah dunia dimana sejumlah kecil kebahagiaan tumbuh
di antara ke- sakitan, perpisahan dan kematian; Sebuah dunia dimana
makhluk-makhluk yang baru saja mendapatkan kebahagiaan simpatik dari kita, pada
saat berikutnya membutuhkan welas asih dari kita – dunia yang seperti ini
membutuhkan keseimbangan batin.
Akan tetapi,
jenis keseimbangan batin yang diperlukan mestilah yang ber- landaskan pada
keberadaan batin yang waspada, bukan pada kemalasan yang tidak peduli dan sikap
masa bodoh. Keseimbangan batin ini mestilah hasil dari latihan keras dan tekun,
bukan efek kebetulan dari suasana hati yang sedang dialami. Namun keseimbangan
batin tidaklah pantas dinamakan “keseimbangan batin” seandainya ia mesti
dihasilkan melalui pengerahan upaya lagi dan lagi. Dalam kasus demikian,
keseimbangan batin akan semakin dilemahkan dan akhirnya dikalahkan oleh
perubahan-perubahan dalam hidup. Keseimbangan batin yang sejati, bagaimanapun
juga, haruslah mampu menjawab semua ujian-ujian yang keras ini dan mampu
menghidupkan kembali kekuatannya dari sumber-sumber dalam diri. Keseimbangan
batin akan memiliki kekuatan ketahanan dan pemahaman diri hanya jika ia berakar
pada penembusan pemahaman (insight).
Lantas,
bagaimana sifat dari penembusan pemahaman tersebut? Yaitu pemahaman yang jernih
bagaimana semua perubahan hidup ini berasal, dan sifat sejati diri kita
sendiri. Kita harus mengerti bahwa pengalaman beraneka ragam yang kita alami
berasal dari kamma kita – tindakan kita baik melalui pikiran, kata-kata dan
perbuatan – yang dilakukan pada kehidupan ini mau- pun kehidupan-kehidupan
sebelumnya. Kamma merupakan rahim darimana kita berasal (kamma-yoni),
dan suka tidak suka, kita adalah pemilik tak ter- hindarkan dari perbuatan kita
(kamma-ssaka). Akan tetapi, segera sesudah kita melakukan tindakan,
kendali kita terhadapnya hilang: ia selamanya ber- sama kita dan tak
terhindarkan akan kembali ke kita sebagai warisan yang sesuai (kamma-dayada).
Tidak ada hal yang terjadi pada kita berasal dari dunia luar asing yang
bermusuhan dengan diri kita; segalanya adalah hasil dari batin dan perbuatan
kita sendiri. Karena pengetahuan ini membebaskan kita dari rasa takut, ia
adalah landasan pertama dari keseimbangan batin. Pada ketika dalam segala hal
yang menimpa kita disebabkan diri kita sendiri mengapa kita mesti merasa takut?
Akan tetapi,
jika rasa takut ataupun kekhawatiran tetap muncul, kita mengetahui naungan yang
dapat meredakan perasaan-perasaan ini: perbuatan baik kita (kamma-patisarana).
Dengan mengambil naungan ini, keyakinan diri dan keberanian akan tumbuh dalam
diri kita – keyakinan diri terhadap kekua- tan perlindungan dari perbuatan baik
kita di masa lampau; keberanian untuk melakukan lebih banyak lagi perbuatan
baik sekarang; walaupun kita sedang menghadapi kehidupan yang penuh kesukaran
saat ini. Sebab kita mengetahui bahwa perbuatan yang mulia dan tidak
mementingkan diri sendiri menyediakan pertahanan terbaik terhadap hantaman
takdir yang keras; bahwasanya tidak pernah terlambat dan selalu saja tiap saat
adalah waktu yang sesuai untuk melakukan perbuatan baik.
Jika
perlindungan ini, melakukan kebajikan dan menghindari kejahatan, telah kukuh
tertanam dalam diri kita, suatu hari kita akan merasa yakin: “Semakin banyak
dan semakin banyak yang menghentikan kesengsaraan dan ke- jahatan yang berakar
pada masa lalu. Dan pada kehidupan saat ini – saya mencoba untuk membuatnya
tanpa noda dan murni. Apalagi yang dapat masa depan berikan selain meningkatnya
kebaikan?” Dari keyakinan inilah, batin kita menjadi tenang, dan kita akan
memperoleh kekuatan kesabaran dan keseimbangan batin untuk menahan segala beban
kesulitan diri kita pada saat ini. Lantas perbuatan-perbuatan kita akan menjadi
sahabat kita (kamma- bandhu).
Demikian
juga, semua peristiwa beragam dalam hidup kita, sebagai akibat dari perbuatan
kita, juga akan menjadi sahabat-sahabat kita, bahkan sekalipun hal-hal tersebut
membawakan kita kesedihan dan rasa sakit. Perbuatan-per- buatan kita kembali pada
diri kita dalam samaran yang seringkali sulit dikenali. Terkadang
tindakan-tindakan kita kembali pada diri kita melalui bagaimana sikap orang
lain memperlakukan kita, kadangkala melalui perubahan mendadak keseluruhan
dalam hidup kita; sering pula hasil-hasil perbuatan kita bertentangan dengan
pengharapan ataupun keinginan kita. Pengalaman-pengalaman demikian menunjukkan
pada kita konsekuensi-konsekuensi perbuatan yang tidak kita perkirakan
sebelumnya; mereka menunjukkan motif-motif setengah sadar dari tindakan lampau
kita yang bahkan ingin kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang ingin kita
tutupi dengan berbagai dalih dan alasan palsu. Jika kita belajar untuk melihat
hal-hal dari sudut ini dan membaca pesan yang dibawakan oleh pengalaman kita
sendiri, maka penderitaan sekalipun akan menjadi sahabat kita. Ia akan menjadi
sahabat yang tegas, namun juga sahabat yang penuh kebenaran dan berniat baik
yang mengajarkan kita pelajaran yang paling sulit, pengetahuan mengenai diri
kita sendiri, serta memperingatkan kita terhadap jurang yang sedang kita tuju
secara membuta. Dengan melihat penderitaan sebagai guru dan sahabat kita, kita
akan lebih berhasil menghadapinya dalam keseimbangan batin. Sebagai akibatnya,
ajaran tentang kamma akan memberikan kita kekuatan/gerak hati yang kuat untuk
membebaskan diri kita dari kamma, dari perbuatan-perbuatan yang lagi dan lagi
melemparkan kita ke dalam penderitaan kelahiran berulang. Perasaan jijik akan
timbul terhadap nafsu kemelekatan diri kita sendiri, terhadap delusi, terhadap
ke- cenderungan alamiah diri kita sendiri untuk menciptakan situasi yang men-
coba kekuatan kita, ketahanan kita dan keseimbangan batin kita.
Penembusan
pemahaman kedua sebagai landasan keseimbangan batin adalah ajaran Buddha
tentang tanpa-aku (anatta). Ajaran ini menunjukkan bahwa dalam hakikat
yang tertinggi, perbuatan tidaklah dilakukan oleh diri manapun, juga akibat
perbuatan tersebut tidak berakibat pada diri manapun. Lebih jauh, hal ini
menunjukkan bahwa jika tidak ada diri, kita tidak dapat mengatakan “milikku”.
Adalah delusi terhadap suatu “aku” yang menciptakan penderitaan dan mengusik
atau mengganggu keseimbangan batin. Jika sifat tertentu dari diri kita
disalahkan, kita akan berpikir: “Aku disalahkan” dan keseimbangan batin menjadi
goyah. Jika suatu kerja tidak berhasil, kita berpikir: “Pekerjaanku telah
gagal” dan keseimbangan batin menjadi goyah. Jika kehilangan kekayaan atau
orang-orang yang dicintai, kita berpikir: “Apa yang menjadi milikku telah
pergi” dan keseimbangan batin menjadi goyah.
Untuk
mewujudkan keseimbangan batin sebagai keadaan batin yang tak tergoyahkan,
seseorang harus melepaskan semua pikiran-pikiran posesif mengenai “milikku”,
dimulai dari hal-hal kecil yang mudah dilepas, dan secara bertahap hingga
kepemilikan dan tujuan yang sangat didambakan segenap hati. Seseorang juga
harus menghentikan penyokong pikiran-pikiran yang demikian, semua pikiran egois
tentang “aku”, dimulai dari sebuah bagian kecil kepribadian, yang tidak terlalu
penting, dari kelemahan kecil yang ia lihat dengan jelas, dan secara bertahap
hingga kepada bentuk-bentuk emosi dan ketidaksukaan terhadap sesuatu yang ia
anggap sebagai pusat dirinya. Pelepasan seperti ini mesti dilatih. Hingga suatu
tahapan kita meninggalkan pikiran tentang “milikku” atau “aku”, keseimbangan
batin akan memasuki hati kita. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yang kita sadari
adalah asing dan tanpa suatu diri dapat mengusik kita melalui nafsu, kebencian
atau kesedihan? Dengan demikian, ajaran mengenai tiada-aku akan menjadi
penuntun kita dalam jalan pembebasan, menuju keseimbangan batin yang sempurna.
Keseimbangan
batin adalah mahkota dan puncak dari empat keadaan batin yang luhur. Namun hal
ini bukan dipahami bahwasanya keseimbangan batin adalah penolakan terhadap
cinta, welas asih dan kebahagiaan simpatik, ataupun bahwasanya keseimbangan
batin lebih unggul dibanding yang lainnya. Jauh dari itu, keseimbangan batin
mencakup dan menyebar menyeluruh di dalam tiga keadaan luhur tersebut, sama
halnya tiga keadaan luhur menyebar menyeluruh di dalam keseimbangan batin yang
sempurna.
Kesalingterkaitan
antar Empat Keadaan Luhur
Lantas,
bagaimana empat keadaan batin yang luhur ini saling menyebar dan meresap satu
sama lain? Cinta yang tak tersekat menjaga welas asih agar tidak memihak,
mencegahnya dari pendiskriminasian memilih dan mengecualikan dan dengan
demikian melindunginya dari keberpihakan ataupun ketidaksukaan terhadap sisi
yang dikecualikan.
Cinta
membagikan sifat tanpa egonya kepada keseimbangan batin, sifatnya yang tanpa
sekat dan bahkan kehangatannya. Sebab kehangatan juga, apabila
ditransformasikan dan dikendalikan, merupakan bagian dari keseimbangan batin
yang sempurna, menambah kekuatan penembusan mendalam dan kendali diri yang
bijaksana dari keseimbangan batin tersebut.
Welas asih mencegah
cinta dan turut bahagia melupakan bahwa, selagi keduanya sedang menikmati atau
memberikan kebahagiaan yang terbatas dan sementara, pada saat yang bersamaan
terdapat keadaan penderitaan yang sangat mengerikan di dunia. Welas asih
mengingatkan bahwa kebahagiaan mereka ada pada saat yang sama dengan
kesengsaraan yang tidak terukur, mungkin saja di pintu tetangga sebelah. Ia
adalah pengingat kepada cinta dan turut berbahagia bahwa ada lebih banyak
penderitaan di dunia dibanding yang dapat mereka redakan; bahwa setelah efek
dari peredaan penderitaan tersebut sirna, kesedihan dan rasa sakit tentu saja
akan muncul lagi hingga penderitaan tersebut dapat dicabut sampai ke
akar-akarnya melalui pencapaian Nibbana. Welas asih tidak mengizinkan cinta dan
turut berbahagia menutup diri terhadap dunia luas dengan membatasi pada suatu
bagian sempit. Welas asih mencegah cinta dan turut berbahagia berubah menjadi
keadaan puas diri di dalam kebahagiaan sempit. Welas asih menggerakkan dan
mendorong cinta untuk meluaskan cakupannya; welas asih menggerakkan dan
mendorong turut berbahagia untuk mencari perbaikan baru. Dengan demikian, welas
asih membantu keduanya tumbuh di dalam keadaan yang sungguh-sungguh tanpa batas
(appamañña).
Welas asih
menjaga keseimbangan batin agar tidak jatuh ke dalam keti- dakpedulian yang
dingin, dan menjaganya dari isolasi yang egois dan malas. Hingga keseimbangan
batin mencapai kesempurnaan, welas asih terus men- dorongnya lagi dan lagi
untuk masuk ke dalam pertempuran dunia, agar mampu menghadapi ujian, dengan
melakukan penempaan dan penguatan diri (keseimbangan batin).
Turut
berbahagia mencegah welas asih terhanyutkan akibat melihat penderitaan dunia,
mencegahnya terserap di dalam penderitaan dan men- gacuhkan semua yang lain.
Turut berbahagia melegakan tekanan batin, meredakan sakit akibat terbakarnya
hati yang welas asih. Turut berbahagia mencegah welas asih dari pikiran panjang
murung tanpa tujuan, dari perasaan sedih sia-sia yang hanya semakin melemahkan
dan menguras energi hati dan pikiran. Turut berbahagia mengembangkan welas asih
menjadi perasaan simpatik yang aktif. Turut berbahagia memberikan keseimbangan
batin suatu ketenangan yang lembut yang melunakkan penampilannya yang kaku. Ia
adalah senyuman indah pada wajah Ia yang Tercerahkan, senyuman yang tetap
bertahan di antara pengetahuan Beliau yang sangat mendalam mengenai penderitaan
dunia, suatu senyuman yang memberikan kenyamanan dan harapan, perasaan tanpa
takut dan keyakinan diri: “Pintu terbuka lebar untuk menuju pembebasan”, demikian
yang dikatakan.
Keseimbangan
batin yang berakar dalam penembusan pemahaman adalah kekuatan kendali diri dan
penuntun bagi tiga keadaan luhur lainnya. Keseimbangan batin menunjukkan arah
bagi ketiganya, dan melihat apakah arah itu diikuti. Keseimbangan batin menjaga
cinta dan welas asih agar tidak terbuang dalam pencarian yang sia-sia dan
tersesat dalam labirin emosi yang tak terkontrol. Keseimbangan batin, yang
merupakan pengendali diri yang waspada untuk mencapai tujuan akhir, tidak
mengizinkan turut berbahagia untuk berpuas diri dengan hasil yang rendah dan
melupakan tujuan sebenarnya yang harus kita perjuangkan.
Keseimbangan
batin, yang berarti “kesadaran yang tenang”, memberikan kepada cinta suatu
kesetiaan dan kekokohan yang tidak berubah dan tenang. Keseimbangan batin
memberikan cinta kasih kebijaksanaan agung dari ke- sabaran. Keseimbangan batin
melengkapi welas asih dengan suatu perasaan tanpa takut serta keberanian yang
tenang dan tak tergoyahkan, yang memung- kinkan welas asih untuk menghadapi jurang
kesengsaraan dan keputusasaan yang sangat dalam dan menakutkan, yang terus
menantang welas asih tanpa batas lagi dan lagi. Bagi sisi aktif welas asih,
keseimbangan batin merupa- kan tangan (bantuan) yang kuat dan tenang yang
dituntun oleh kebijaksanaan – yang tak ternilai harganya bagi mereka yang ingin
melatih seni menolong orang lain yang sulit dipelajari. Dan lagi, di sini
keseimbangan batin berarti kesabaran, pencurahan hati yang sabar terhadap
pekerjaan welas asih.
Dalam hal ini
dan hal lainnya, keseimbangan batin boleh dikatakan se- bagai mahkota dan
puncak dari tiga keadaan luhur lainnya. Tiga keadaan yang pertama, jika tidak
terhubung dengan keseimbangan batin dan penembusan pemahaman, dapat
mengerut/menyusut akibat kurangnya faktor penstabil. Kebajikan-kebajikan yang
terisolasi, jika tidak didukung oleh kualitas-kualitas lain yang memberikannya
kelenturan dan kekokohan yang dibutuhkan, sering- kali merosot ke dalam
kekurangan-kekurangannya sendiri. Sebagai contoh, cinta kasih, tanpa energi dan
penembusan pemahaman, dapat mudah condong menjadi hanya kebaikan emosional yang
sifatnya lemah dan tidak dapat diyakini. Lagi pula, kebajikan-kebajikan
terisolasi yang demikian mungkin seringkali membawa kita ke arah yang
bertentangan dengan tujuan asli kita dan bertentangan dengan kesejahteraan
pihak lain juga. Adalah karakter pribadi yang kokoh dan seimbang yang dapat
merajut kebajikan-kebajikan terisolasi tersebut menjadi keseluruhan yang
menyatu dan harmonis, di mana masing-masing kualitas menunjukkan perwujudan
terbaiknya dan menghindari perangkap kelemahannya sendiri. Dan inilah fungsi
sesungguhnya dari keseimbangan batin, bagaimana halnya ia berkontribusi dalam
hubungan yang ideal di antara semua empat keadaan batin yang luhur.
Keseimbangan
batin adalah keadaan batin yang sempurna, seimbang tak tergoyahkan, yang
berakar pada penembusan pemahaman. Namun dalam kesempurnaan dan sifat tak
tergoyahkannya, keseimbangan batin tidaklah dingin, kaku, masa bodoh dan tidak
berperasaan. Kesempurnaannya bukanlah karena “kekosongan” emosional, namun
karena “penuhnya” pemahaman, karena kelengkapan dalam dirinya sendiri. Sifatnya
yang tak tergoyahkan bukanlah seperti batu dingin, mati, yang tak dapat
digeser; melainkan perwujudan dari kekuatan tertinggi.
Dalam hal bagaimana, keseimbangan batin sempurna
dan tak tergoyahkan?
Apapun yang
menyebabkan kemandekan telah dihancurkan, apa yang membendung telah
disingkirkan, apa yang menghalangi telah dihancurkan. Sirna sudah
pusaran-pusaran emosi dan lekak-lekuk intelektualitas. Tiada terganggu gerak
aliran kesadaran yang tenang dan agung, murni serta me- mancarkan cinta kasih
dan kebahagiaan. Perhatian yang waspada (sati) telah mengharmoniskan
kehangatan dari keyakinan (saddha) dengan tajamnya penembusan dari
kebijaksanaan (pañña); telah menyeimbangkan kekuatan dari semangat (viriya)
dengan ketenangan dari batin (samadhi); dan lima kekuatan indria (indriya)
telah tumbuh menjadi kekuatan-kekuatan dalam diri (bala) yang tidak
dapat hilang lagi. Ia tidak akan hilang karena tidak lagi tersesat dalam
labirin dunia (samsara); dalam ketersebaran hidup (papañca).
Kekuatan-kekuatan dalam ini mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun
karena terjaga oleh kesadaran, kekuatan-kekuatan ini tidak mengikatkan diri di
manapun lagi, dan oleh karenanya tidak berubah lagi. Cinta, welas asih dan
turut berbahagia terus mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun
karena terjaga oleh keseimbangan batin, mereka tidak menggantungkan diri lagi
di manapun, dan kembali tanpa menjadi semakin lemah dan ternoda.
Dengan
demikian, di dalam diri arahat, Ia yang Terbebaskan, tidak ada yang berkurang
akibat memberi, dan ia tidak menjadi semakin miskin dengan menawarkan orang
lain kekayaan hati dan pikirannya. Arahat bagaikan kristal yang jernih dan terpotong
dengan baik, tanpa noda, menyerap sepenuhnya semua berkas cahaya dan
memancarkannya keluar kembali, sambil diperkuat oleh kekuatan konsentratifnya.
Berkas cahaya tidak dapat menodai kristal tersebut dengan aneka warna-warninya.
Berkas-berkas cahaya ini tidak dapat membelah kerasnya kristal tersebut, dan
juga mengganggu strukturnya yang harmonis. Di dalam kemurnian dan kekuatannya
yang tulen, kristal tersebut tetap tak berubah. “Seperti halnya semua aliran
sungai dunia masuk ke samudera luas dan semua air di langit hujan ke samudera
tersebut, namun samudera luas tersebut tidak terlihat bertambah atau berkurang”
– demikian juga sifat dasar dari keseimbangan batin yang suci.
Keseimbangan
batin yang suci, atau – sebagaimana yang mungkin kita ungkapkan – arahat yang
berada dalam keseimbangan batin yang suci, adalah pusat inti dari dunia. Tetapi
pusat inti ini haruslah dibedakan dari pusat-pusat lingkupan terbatas yang
tampak dan tak terkira banyaknya; dalam hal “karak- teristik” khasnya,
hukum-hukum yang mengatur, dan sebagainya. Semua ini hanyalah pusat-pusat yang
tampak, karena mereka akan berhenti menjadi pu- sat ketika lingkupannya,
mematuhi hukum-hukum ketidakkekalan, mengalami perubahan total dalam
strukturnya; dan akibatnya pusat dari gaya tariknya, material maupun mental,
akan berubah. Namun, pusat inti dari keseimbangan batin arahat adalah tak
tergoyahkan, karena ia tidak lagi berubah. Ia tidak lagi berubah karena ia
tidak bergantung pada apapun lagi.
Seperti yang dikatakan Guru:
Bagi ia yang
bergantung, akan ada gerakan; namun bagi ia yang tiada lagi bergantung, tiada
lagi gerakan. Di mana tiada gerakan, di sana ada keheningan. Di mana ada
keheningan, tiada lagi kemelekatan. Ketika tiada lagi kemelekatan, tiada lagi
datang maupun pergi. Di mana tiada lagi datang maupun pergi, tiada lagi
kemunculan (kelahiran) maupun kepergian (kematian). Ketika tiada lagi
kemunculan maupun kepergian, tiada lagi dunia ini maupun dunia di luar ini,
ataupun keadaan di antara kedua dunia ini. Ini, sesungguhnya, adalah berakhirnya
penderitaan. –Udana 8.3.