Senin, 09 Juli 2012

BUNUH DIRI


Bagaimana pandangan Agama Buddha atas upaya bunuh diri?
Ada beberapa kejadian yang tercantum dalam Tipitaka tentang Bhikkhu-Bhikkhu yang bunuh diri (Dalam Godhika Sutta dalam Samyutta Nikaya dan Ulasan Dhammapada ; Kisah Bhikkhu Vakkhali dalam Samyutta Nikaya )
Hal ini dinyatakan Sang Buddha sebagai tidak tercela apabila atas dasar :- Bahwa Bhikkhu itu telah menjadi Arahat, yang telah bebas dari Lobha, Dosa dan Moha., atau Secara pasti akan menjadi Arahat sebelum kematiannya, dan bunuh diri dengan dasar-dasar tersebut hanyalah untuk mengakhiri penyakit yang tak tersembuhkan.!
Bila tidak berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengambilan nyawa manusia atau anjuran untuk mati, merupakan salah satu dari empat kekalahan atau pelanggaran besar, yang mengakibatkan pengeluaran dari Sangha untuk selamanya ( tiga yang lainnya adalah; Pencurian, Sanggama dan sengaja mengeluarkan pernyataan palsu tentang pencapaian batiniah ).
Godhika Thera; Pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan di mana Godhika Thera tersebut dilahirkan tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya di mana Godhika Thera sekarang.
Sang Buddha menjawab, "Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia".
"Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila, yang hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna." ( Dhammapada BAB IV : 57 )
Pengulas menjelaskan bahwa Godhika Thera berhasil meraih Nibbana karena setelah menggorok lehernya ( tetapi belum sampai pada ajalnya), ia sempat merenungkan dan menembus hakikat kehidupan yang fana ini.
Didalam kisah Bhikkhu Vakkhali (yang terkena penyakit kusta sangat parah)
Dikisahkan bahwa Sepanjang hari dan malam itu Sang Buddha berada di puncak Karang Burung Nasar. Ketika malam telah berlalu, Beliau memberikan wejangan demikian kepada para Bhikkhu : " Para Bkhikkhu, pergilah menemui Bhikkhu Vakkhali dan beritahu dia tentang hal ini :
' Sahabat, dengarlah apa yang para dewa sampaikan kepada Sang Bhagava : semalam dua orang dewa yang berwajah gemilang datang menemui Sang Bhagava dan mereka berkata :" Yang Mulia, hati bhikkhu Vakkhali telah siap untuk menerima pembebasan". Sedang yang lainnya berkata :"Yang Mulia, ia pasti memperoleh pembebasan yang sempurna."
Dan Sang bhagava memberitahu kepadamu hal ini sahabat : '" Jangan takut, Vakkhali, jangan takut. Kematianmu akan bebas dari kejahatan, akhir hayatmu akan bebas dari kejahatan.' "
" Baiklah, Yang Mulia," jawab mereka.
Dan mereka pergi menemui Yang Mulia Vakkhali dan berkata kepadanya :" Sahabat, dengarlah pesan dari Sang Bhagava dan dari dewa-dewa...".
Tidak lama kemudian setelah kepergian mereka, Yang Mulia Vakkhali mempergunakan pisau untuk membunuh dirinya.
Melihat kejadian ini Sang Buddha berkata : " Para Bhikkhu, Vakkhali telah mencapai Nibbana, sehingga kesadarannya tidak berada dimanapun."
Berdasarkan dua Kisah Bhikkhu yang melakukan bunuh diri tersebut diatas, jelaslah bahwa dalam pandangan Agama Buddha berbeda dengan pandangan beberapa agama tertentu, bunuh diri bukanlah suatu "dosa" (Baca: kesalahan)yang tak terampunkan. Jangankan hanya kehidupan di Surga, bahkan pencapaian Arahat yang jauh lebih mulia daripada itu (yang menjadi tujuan akhir bagi setiap umat Buddhis) dapat diraih oleh seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan penderitaan ini. Manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, bukanlah sekadar " Aktor panggung kehidupan " yang terikat kontrak dengan Sutradara untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia yang diciptakanNYA. Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing.
Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian yang adil dan sesuai dengan ukurannya.
Bagi seorang Bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Parajika; suatu kesalahan paling berat (garukapatti) yang membuatnya terlepas dari pesamuan. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekiccha), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih pembebasan sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apapun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya.
Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apapun dan seberapa-pun beratnya, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak ( tak berbatas / kekal ) untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini. Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih ringan yaitu pacittiya ;suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri (bunuh diri), seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkata; suatu kesalahan yang paling ringan.
Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Saratthadipani dan Vimativinodani, bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sila karena faktor pembunuhannya tidak terlengkapi. Pelanggaran sila dalam hal pembunuhan ini harus berobyekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri.

Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.
Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada membunuh orang lain. Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan "dosa" yang tak terampunkan; melebihi "dosa" yang dilakukan oleh mereka yang membunuh makhluk lain (melanggar hak orang lain)? ,Seperti halnya orang yang merusak barang (kekayaan) milik orang lain, patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.

Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan "berpikir" untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apapun yang melalui ucapan, pikiran maupun jasmani yang membangkitkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha); semuanya melanggar Dhamma.

- Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha.

- Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.

Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup ?
Kita mungkin bisa mentolerir/ memaklumi upaya bunuh diri karena alasan penyakit akut (kesehatan). Bagaimana pula dengan alasan-alasan lainnya? Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup: frustrasi, patah hati ditinggal sang pacar, gagal dalam bisnis, terlibat hutang-piutang, terlibat kasus-kasus berat dsb.? Agaknya, persoalannya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Betapapun peliknya suatu masalah hidup, itu bisa dicarikan jalan keluarnya yang lebih baik (selain bunuh diri). Paling tidak, itu bisa diatasi dengan mengubah "sikap hidup" atau "cara pandang".
Permasalahan hidup adalah penderitaan batiniah. Lain halnya dengan penyakit yang merupakan penderitaan jasmaniah, meskipun para pakar kedokteran telah berhasil meracik pelbagai macam obat penyembuh, vaksin, serum, dsb., itu tetap ada batas-batasnya. Penyakit adalah suatu "natural force"; yang tak mungkin dapat ditaklukkan secara mutlak oleh umat manusia (kecuali dengan cara Pembebasan dari kelahiran yang berulang-ulang sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha). Sejauh ini Agama Buddha tidak dapat membenarkan upaya bunuh diri karena alasan masalah hidup . . . !.
Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut "membenci" tubuh jasmaninya. Namun, ia juga tidak sepatutnya untuk "melekati"-nya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti periuk (kendi). Kalau itu memang sudah pecah dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa kita tidak membuangnya, dan mencari yang baru, yang lebih baik?
Ada perumpamaan lain yang bernada sama. Apabila ada orang yang mempunyai jatah atas baju baru yang lebih indah kemudian ia melepaskan bajunya yang sudah lama, gelandangan yang menyaksikannya mungkin berpikir, "Orang itu bodoh sekali, baju masih baik kok dibuang begitu saja.?"
Dalam menilai sesuatu, kita tidak bisa hanya berpedoman pada takaran duniawi yang rendah semacam ini dan sepertinya sudah menjadi kecenderungan orang awam untuk melekat pada kehidupan sekarang ini, dan berusaha untuk mencari kepuasan di dalamnya.

Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi Bhikkhu, misalnya, mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak memanfaatkannya?, Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan kesenangan inderawi, para Bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur daripada kesenangan nafsu inderawi.
Demikian pula halnya dengan kasus Godhika Thera, kita tidak bisa menilainya dengan menggunakan kemelekatan kita terhadap kehidupan di dunia sekarang ini. Beliau mempunyai pertimbangan lain sehingga memutuskan hal itu.
Dalam hal ini, kita tidak mempersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum duniawi. Dengan pertanyaan lain yang lebih jelas, haruskah kita melarang dan menghukum pelaku bunuh diri, ataukah membiarkannya?
Jika kita mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi kehendak orang lain dalam menentukan kehidupannya sendiri- dalam arti memilih mati atau tetap hidup dalam penderitaan /kesengsaraan. Asalkan suatu perbuatan tidak merugikan pihak lain, tidaklah beralasan untuk menghukumnya.
Seperti halnya masalah rokok. Kita semua tahu bahwa merokok itu dapat merusak kesehatan. Cukup beralasan jika kita melarang merokok di tempat-tempat umum sebab itu dapat membahayakan kehidupan orang lain yang tidak suka merokok. Tetapi, kalau seseorang merokok dalam kamarnya sendiri, bolehkah kita menjatuhkan hukuman kepadanya? Demikian pula halnya dengan masalah bunuh diri. Sepanjang itu tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.

- Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma?
- Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?
- Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?
Memang, sebagai orang biasa, sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang sangat pelik (kompeks). Hanya seorang Sammasambuddha yang memiliki kemampuan semacam itu. Namun, haruslah diingat bahwa Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan sekarang (ditthadhamma vedaniya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma).
Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk "tunduk" pada akibat kamma. Sikap inilah yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima dengan pasrah sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya.
Contoh yang gamblang dalam hal ini. Seandainya kita digigit nyamuk, kita tentu tidak membiarkannya begitu saja dengan pandangan; "Biarlah dia (nyamuk itu) menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi semuanya!". Ini jelas merupakan suatu sikap menerima kamma lampau yang salah, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh mengusirnya (tanpa harus membunuhnya), atau melakukan tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb.
Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari segala macam penderitaan/ kesakitan yang dialami tanpa ada sedikit usahapun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya.

Ingat ! ...Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme
tentang Hukum Kamma yang mempercayai bahwa Keselamatan / Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang kamma terlunasi.
Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jumlahnya. Jika setiap makhluk harus melunasi setiap akibat kamma yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil baginya untuk meraih Pembebasan.

Pandangan Umum.
Bunuh diri...dalam keadaan apapun adalah salah secara moral dan spiritual. Seseorang melakukan Bunuh diri karena ia didorong oleh pikirannya yang penuh dengan keserakahan ( Lobha), Kebencian (Dosa) dan yang paling utama adalah Kegelapan batin (Moha). Melakukan Bunuh diri karena frustrasi atau kekecewaan hanya akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar lagi.
Bunuh diri adalah tindakan pengecut untuk menghindari dan mengakhiri masalah dalam kehidupan yang sedang dihadapi. Seseorang tidak akan melakukan bunuh diri jika pikirannya tenang dan murni . Jika seseorang meninggal dunia dengan pikiran yang bingung dan frustrasi, rasanya tidak mungkin ia akan terlahirkan kembali dalam kondisi yang lebih baik.

Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik dan mulia. Mereka menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara seperti pengorbanan diri sendiri, menembakkan peluru atau mogok makan. Tindakan demikian mungkin tergolong berani dan bernyali, namun bagaimanapun juga dari sudut pandang ajaran Buddha, tindakan demikian tidak dapat dimaklumi. Sang Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaan pikiran bunuh diri mengarah pada penderitaan lebih lanjut.
Seluruh sikap ini sekali lagi membuktikan bahwa ajaran Buddha adalah agama yang positif , menghargai dan mendukung kehidupan.


Sumber bacaan :
- Kehidupan Sang Buddha - Phra Chaluai Sujivo Thera.
- Keyakinan umat Buddha - Sri Dhammananda
- Sekitar Masalah bunuh diri - Jan Sanjivaputta
- Hukum Karma - Tanhadi
- Samyutta Nikaya - YM. Nyanaponika Mahathera & YM. Piyadassi
Nayaka Thera.
- Kisah-kisah Dhammapada - editor : Bhikkhu Jotidhammo

ABORSI MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA



Peristiwa
aborsi  memang ada di sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya di mana ada orang yang ingin hamil maka di tempat yang sama juga ada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyaknya kasus aborsi di kalangan remaja saat ini yang berakibat merenggut nyawa menunjukkan pendidikan seks bagi remaja sudah saatnya dipikirkan.

Mencermati kasus ini memang dibutuhkan pemikiran jernih. Sejauh ini masyarakat khususnya kalangan remaja intelektual tergesa-gesa dalam menyimpulkan kasus aborsi hanya dilakukan karena pergaulan bebas dan mengutuk perilaku sang pelaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di dalamnya. Kenyataannya ada kesenjangan antara respons masyarakat yang kebanyakan bernada tunggal tersebut dengan realita yang terjadi.

Dari fakta hasil penelitian selama ini jelas salah kalau kita menganggap bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dihubungkan dengan akibat pergaulan bebas apalagi kalau berpikir bahwa itu hanya terjadi pada remaja. Padahal masih banyak sikap-sikap di masyarakat kita sendiri yang mendorong perempuan untuk terpaksa melakukan aborsi. Sikap yang ditanamkan sesungguhnya memang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti :

a) Keluarga yang tidak siap karena memiliki ekonomi pas-pasan sehingga cenderung bersikap menolak kelahiran anak.

b) Masyarakat cenderung menyisihkan dan menyudutkan wanita yang hamil di luar nikah. Wanita selalu disalahkan, tidak ditolong atau dibesarkan jiwanya tetapi malah ditekan dan disudutkan sehingga dalam reaksinya wanita tersebut akan melalukan aborsi.

c) Ada aturan
Perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawatinya hamil (meskipun punya suami) selama dalam kontrak dan kalau ketahuan hamil akan dihentikan dari pekerjaannya.

d) Pergaulan yang sangat bebas bagi remaja yang masih duduk di
Bangku sekolah, misal SMA, mengakibatkan kecelakaan dan membuahkan kehamilan. Karena merasa malu, dengan teman-temannya, takut kalau kesempatan belajarnya terhenti dan barangkali masa depannya pun menjadi buruk.
Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menyisihkan sehingga akhirnya ia melakukan aborsi supaya tetap eksistensi di masyarakat dan dapat melanjutkan sekolah.

e) Dari segi medis diketahui umur reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Bila seorang wanita hamil di luar batasan umur itu akan masuk dalam kriteria risiko tinggi. Batasan ini sering menakutkan, sehingga perempuan yang mengalaminya lebih menjurus menolak kehamilanya dan ujung-ujungnya akan melakukan aborsi.

f) Pandangan sebagian orang bahwa tanda-tanda kehidupan janin antara lain adanya detak jantung yakni umur sekitar tiga bulan. Maka hal ini akan memicu seorang wanita yang mengalami suatu masalah akan melakukan aborsi dengan alasan usia bayi belum sampai 3 bulan.

g) Praktik aborsi adalah fenomena yang timbul karena perubahan nilai di masyarakat. Sama halnya dengan praktik pelacuran, praktik aborsi tidak dapat diantisipasi dengan hanya bentuk pelarangan semata.

h) Selama ini indikasi medis yang dipakai sebagai dasar bolehnya aborsi hanya didasarkan pada kesehatan badan/keselamatan jiwa dan mengabaikan konsep definisi kesehatan secara keseluruhan (sehat fisik, psikis dan sehat sosial). Padahal sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Sementara itu dalam RUU Kesehatan tentang aborsi terdapat pada pasal 60 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab melalui perundang-undangan. Dalam ayat 2 dijelaskan pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain di lakukan tenaga kerja tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku.

Dalam pasal itu terlihat bahwa pembatasan aborsi hanya pada upaya-upaya praktik aborsi oleh tenaga non medik seperti melalui dukun, obat-obat tradisional, sementara batasan-batasan mengenai syarat dan kondisi seseorang diperbolehkan melakukan aborsi sama sekali tidak dibahas. Dengan kata lain seseorang diperkenankan melakukan aborsi (dengan alasan kesehatan badan/keselamatan jiwa) asalkan dilakukan oleh dokter yang profesional dengan fasilitas yang memadai dan ditunjuk oleh pemerintah.

Perlindungan terhadap kesehatan perempuan berkaitan dengan hak-hak reproduksinya pada dasarnya telah diatur dalam UU No.7 tahun 1984. Selain hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan kesehatan, konvensi ini jelas menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Antara lain hak untuk memutuskan kapan dan akankah perempuan mempunyai anak. Dengan demikian konvensi ini memberi peluang bagi perempuan untuk malakukan aborsi sebagai pilihan bebas menyangkut hak-hak reproduksinya. Baik dalam keputusan-keputusan di pengadilan maupun dalam pembelaan menyangkut soal perempuan konvensi ini jarang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebab sistem hukum yang ada sama sekali tidak sensitif gender dan cenderung mengabaikan kepentingan perempuan.

Apakah melakukan aborsi berarti melakukan pembunuhan? Seringkali pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan dari berbagai sudut pengetahuan.

Dalam masalah aborsi pandangan medis maupun agama yang dikembangkan di masyarakat adalah satu, aborsi identik dengan pembunuhan. Inilah yang kemudian diadopsi di dalam substansi hukum sebagaimana yang diatur lewat KUHP. Dalam pandangan medis
Abortus yang diperbolehkan adalah abortus berdasarkan indikasi medis (abortus artificialis therapicus) selebihnya aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal (abortus provocatus criminalis).

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a) Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita

b) Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma

c)Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang memiliki energi karma

Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut :

a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

Bagi mereka yang menyediakan jasa aborsi tidak resmi dan ketahuan tentu akan mendapat ganjaran menurut hukum negara, setelah melalui proses peradilan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ini juga sebagai akibat dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan saat ini.

Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.

Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

FAKTOR-FAKTOR REMAJA BUDDHIS LEMAH TERHADAP NILAI BUDDHA DHAMMA


BY : SUNARYO


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan peribadatan. Pengalaman dan penghayatan itu merangsang dan mendorong individu terhadap hakikat pengalaman kesucian, penghayatan terhadap ke-Tuhanan atau sesuatu yang dirasakannya supernatural dan diluar batas jangkauan dan kekuatan manusia. Pengalaman ini bersifat subjektif yang sukar diterangkan kepasa orang lain. Keimanan akan timbul menyertai penghayatan ke-Tuhanan, sedsangkan peribadatan, yakni sikap dan tingkah laku keagamaan merupakan efek dari adannya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan. Agama bukan hanya berisi kepercayaan saja, tapi agama adalah keimanan yang mengharuskan tindakan dalam menjalani kehidupan.
Masa puber adalah masa yang yang unik dan khusus yang ditandai oleh berbagai ciri tersendiri dari perubahan perkembangan yan tidak muncul pada tahap-tahap lainnya. Perlu waktu sekitar tiga tahun bagi anak perempuan untuk menjadi matang secara seksual dan dua sampai empat tahun bagi anak laki-laki. Pada anak laki-laki, diperlukan sekitar satu sampai dua tahun untuk perubahan awal dari keadaan aseksual menjadi seksual, tahap pra puber, dan diperlukan satu sampai dua tahun untuk menyelaesaikan perubahan setelah matangnya organ-organ seks.
Charlote Buhler menyebut masa puber sebagai fase negatif karena periode ini berlangsung singkat dan terjadi sifat-sifat negatif yang belum terlihat dalam masa kanak-kanak.pendapat itu dapat dibuktikan sebab sikap dan perilaku negatif memang menjadi ciri awal masa remaja dan akan berahkir jika individu sudah matang secara seksual. Bukti lainya adalah perilaku khas dari fase negatif masa remaja pada anak perempuan memang lebih menonjoldari pada anak laki-laki.
Ada yang berpendapat bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tiada yang berbeda dengan kelompok manusia yang lain. Ada yang berpendapat bahawa remaja adalah kelompok orang yang menyusahkan orang-orang tua. Ada pula yang berpendapat bahwa remaja merupakan potensi manusia yang perlu dimanfaatkan. Akan tetapi manakala remaja dimintai persepsinya, mereka akan berpendapat lain. Mereka berbicara ketidak acuhan atau ketidak pedulian orang-orang dewasa terhadap kelompok mereka. Mereka juga berpersepsi bahwa kelompoknya adalah kelompok minoritas yang memiliki dunia sendiri yang sulit dijamah oleh orang tua. Ada juga yang berpersepsi bahwa kelompoknya adalah kelompok yan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara.
Luasnya pengaruh perubahan fisik masa remaja juga berpengaruh pada sikap dan tingkah lakunya. Realita menunjukan bahwa perubahan sikap dan tingkah lakunya. Realita menujukan bahwa perubahan sikap dan tingkah lakunya saat itu lebih merupakan akibat dari perubahan sosial dari pada akibat perubahan kelenjar yang berpengaruh pada keseimbangan tubuh. Bila orangtua, kakak-adik, guru-guru, dan teman-teman kurang memberikan pengertian dan simpati pada anak remaja yang harapan-harapan sosialnya begitu besar, akibat psikologis yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan fisik itu semakin besar.
Sering kali anak remaja kontradiksi dengan orang-orang disekitarnya, seperti enggan bekerja sama, membantah dan menentang. Antara dua jenis seks yang berlainan sering terjadi permusuhan terang-teranganyang di aplikasikan dalam bentuk kritikdan komentar yang menjatuhkan. Akan tetapi dia akan kembali menjadi lebih ramah, lebih bekerja sama, dan lebih sabar menghadapi orang lain seiring dengan perkembangan masa remaja. Penyimpangan saat proses kematangan seksual termasuk salah satu bahaya psikologis masa remaja yang paling serius. Seperti halnya tahun-tahun ahkir masa kanak-kanak, sulit bagi anak remaja untuk menerima hal-hal yang membuatnya berbeda dan mengakibatkanya merasa rendah diri. Thomas berpendapat ”Anak ini tidak saja bebeda dari teman-temanya sehingga mudah diasingkan, tetapi dia juga mengalami kesulitan dalam kegiatan akademik, sosial dan fisik yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kemampuanya yang unik. Pengalaman ini  hanya akan semakin memperbesar perasaan berbeda”.
Meskipun setiap periode memiliki masalah sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah yang sulit diatasi, baik oleh anak-laki-laki maupun anak perempuan. Alasanya, sebagian masalah yang terjadi selama masa anak-anak diselesaikan orangtua dan guru-guru, sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman dalam mengatasinya. Sebagian remaja sudah merasa mandiri sehingga menolak bantuan orang tua dan guru-guru. Dia ingin mengatasi masalahnya sendiri.
B.     Rumusan Masalah
  1. Pengertian Remaja
  2. Minat Pada Remaja
  3. Lemahnya Kesadaran Beragama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Remaja
Remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1991:206). Sedangkan Piaget dalam Hurlock (1991:206) menyatakan secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Dalam Monk,s (1991, dalam Sugeng Hariyadi, 1999:6) menegaskan bahwa remaja tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau orang tua. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Masa remaja adalah masa transisi dalam periode anak-anak ke periode dewasa (Irwanto, 1991:46).
Sedangkan WHO (dalam Sunarto, 2002:54, dikutip dari Muangman dalam sarlito, 1991:9) memberikan batasan remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan dimana:
a)      Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan sosial.
b)      Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c)      Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Batasan usia remaja sangat bervariasi. Hurlock (1964) dalam Sunarto (2002:57) memberikan batas rentang usia remaja antara 13-21 tahuan, yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu usia remaja awal 13-17 tahun, dan usia remaja akhir 17-21 tahun. Sedangkan Bigot, Kohnstam dan Palland mengemukakan bahwa masa remaja rentang antara usia 18-21 tahun, sedangkan WHO menetapkan batasan usia 19-20 tahun sebagai masa remaja. WHO menyatakan bahwa usia tersebut berdasarkan usia kesuburan (fertilitas) pada wanita, batasan terbut juga berlaku untuk remaja pria. WHO membagi 2 bagian usia remaja awal 10-14 tahun, dan remaja akhir 15-20 tahun.
Banyak hal yang terjadi selama rentang masa remaja, baik ketika masa awal, yaitu kematangan secara seksual dan masa ahkir saat mencapai usia matang secara hukum. Seperti perubahan tingkah laku, sikap dan nilai-nilai yang tidak hanya mengindikasikan perubahan yang lebih cepat pada awal masa remaja dari pada tahapahkir masa remaja, tetapi juga mengindikasikan tingkah laku sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja. Atasa dasar itulah, munculnya pembagian secara umum. Awal masa remaja dan ahkir masa remaja merupakan alternatif yang dianggap mudah untuk menentukan dan memahami apa saja yang terjadi pada masa itu.
Sebagai contoh pada usia 17 tahun yang menjadi garis pemisah antara awal masa dan ahkir masa remaja, saat remaja duduk di bangku sekolah menengahtingkat atas, orang tua menganggap hampir dewasa dan menjelang masuk kedunia kerja orang dewasa,  melanjutkan ke perguruan tinggi, atau menerima pelatihan kerja tertentu. Pada usia itu, remaja juga disadarkan olehstatus di sekolah, perannya dirumah dan masyarakat, yang membutnya belajar bertanggung jawab sehingga memotivasinya menjadi lebih matang.
B.     Minat Pada Remaja
Hurlock mencatat bahwa tidak ada minat remaja yang bersifat universal, karena minat remaja bergantung pada seks, intelegensi, lingkungan terapan dia hidup, kesempatan untuk mengembangkan minat, minat teman-teman sebaya. Status dalam kelompok sosial, kemampuan bawaan, minat keluarga dan faktor lainya.
Sepanjang masa remaja, minat yang dibawa dari masa kanak-kanak cenderung berkurang dan diganti oleh minat yang lebih matang. Hal ini karena remaja ahkir memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan waktu yang dimilikinya untuk dirinya sendiri pun berkurang sehingga harus membatasi minatnya, terutama di bidang hiburan.
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhinya. Howard Bell dan Ros berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut :
a)      Remaja yang taat (kegereja secara teratur 45%)
b)      Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali 35%
c)      Minat terhadap ekonomi, keuangan, materil, dan sukse pribadi 73%
d)      Minat terhadap maslah ideal, keagamaan dan social 21%
Pandangan para remaja terhadap agama, ibadah dan masalah doa sebagaiman yang telah dikumpulkan oleh ross dan Oskar Kupky menunjukan :
a)      148 sisw dinyatakan bahwa 20 diantaranya tidak memilkipengalaman terhadap agama sedangkan sisanya 128 mempunyai pengalam keagamaan  yang 68 diantaranya secara alami (tidak melalui pengajaran secara resmi)
b)      31 orang diantara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses Alami itu mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menabjukan  dibalik keindahan alam yang mereka nikmati.
Pandanga mereka tentang ibadah atau sembahyang siungkapkan sebagai berikut :
a)      42% tak pernah mengerjkan ibadah sama sekali
b)      33% mengatakan mereka sembahyang dan yakin terhadap tuhan dan akan mengabulkan doa mereka
c)      27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita
d)      18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menuikannya.
e)      11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
f)       4% mengatakan sembahyang merupakan kebiasaaan yang mengandung arti yang penting.
Jadi hanya 17% yang mengatkan bahwa sembahyang itu bermanfaat untuk berkomuniksai dengan tuhan, sedangkan hanya 26% menganggap sembahyang sebagai media untuk meditasi.
Selain itu, mayoritas remaja memperoleh nilai yang berbeda dan yang lebih matang. Hal ini  tampak dalam berahlihnya penekanan pada minat yang berbeda. Minat yang pada awal masa remaja dianggap sangat penting, seperti minat pada pakaian dan penampilan, pada masa remaja ahkir menjadi kurang penting, sebab mereka lebih berminat pada masalah karier. Pengalaman juga membantu mereka untuk menilai minatnya secara lebih kritis dan mengetahui mana yang benar-benar penting. Penilaian kritis ini menjadikan remaja yang lebih besar memiliki minat yang stabil dan menghantarkanya pada gerbang kedewasaan. Terdapat banyak minat remaja, tetapi ada minat-minat yang bersifat umum, seperti minat rekreasi, minat sosial, minat pribadi, minat terhadap pendidikan, minat terhadap pekerjaan, minat terhadap agama dan minat terhadap hal simbolik.
Minat yang terkuat adalah minat pada diri sendiri. Alasanya mereka menyadari bahwa dukungan sosial sangat dipengaruhi oleh penampilan dan kesadaran bahwa kelompok sosial menilai dirinya berdasarkan benda-benda yang dimiliki, kemandirian, sekolah, keanggotaan sosial dan banyaknya uang yang dibelanjakan. Semuanya dianggap sebagai simbol-simbol yang bisa menjadikan wibawa remaja terangkat diantara teman-teman sebayanya dan besarnya kesempatan untuk meraih dukungan sosial yang lebih besar dari mereka.
C.     Lemahnya Kesadaran Beragama
Pengertian kesadaran beragama dalam makalah ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman Buddha Dhamma, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadiaan. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencangkup aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat di dalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu sistem kesadararan beragama yang utuh dalam kepribadiaan seseorang.
Penggambaran tentang kemantapan kesadaran beragama tidak dapat terlepas kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya tedapat pada orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disartai kesadaran beragama yang mantap. Seseorang yang tidak beragama (atheis) mungkin saja memiliki kepribadian yang matang walaupun ia tidak memiliki kesadaran beragama. Sebaliknya sukar untuk dibayangkan adannya kesadaran beragama yang mantap pada kepribadian yang belum matang. Kemantapan kesadaran beragama merupakan dinamisator, warna, dan corak serta memperkarya kepribadian seseorang.
Kepribadian yang menyakut salah tafsir dan jenis kelamin, bagi seorang yang mempunyai kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat tuhan yang maha asih dan penyayang. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan pula factor yang menentuhkan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih matang dalam perkembangn nya lebih cepat menunjukan keraguan keraguan dari pad remaja pria, tetapai sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putriu lebih kecil jumlahnya, disamping itu keraguan wanita bersifat alami dan pria bersifat intelek.
Selaras dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping keadaanya jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran yang abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata.
Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauaan dan konflik batin. Di samping itu remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan yang bersifat indiividual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Kepercayaannya mulai otonom, hubungannya dengan tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam bermasyarakat makin diwaranai oleh rasa keagamaan.
Perpecahan dan kegoncangan kepribadian yang dialami remaja terlihat pula dala lapangan peribadatan. Ibadahnnya secara berganti-ganti ditentukan oleh sikap terhadap dunia dalam dirinya sendiri. Keseimbangan jasmaniah yang terganggu menyebabkan ketidaktenagan  pada diri remaja. Ia serin tidak tahu sendiri, apa kemauannya. Kalau hari ini ia ingin kebaktian dengan hikmah, besoknya ia tidak kebaktian lagi. Tetapi dapat pula remaja menjadi orang yang menghindari peribadatan. Ia menolak pengikatan norma-norma agama, menolak keharusan-keharusan agama, malahan ingin mencoba melanggar larangan agama.
Jadi sering terlihat kesibukan beribadah yang berlebihan yang mudah berubah menjadi sikap acuh tak acuh terhadap ibadah. Di samping keinginan yang kuat untuk beribadah, terlihat pula keinginan yang besar untuk mengalami bermacam-macam hal, termasuk pengalaman keagamaan. Dalam sistem mental kesadaran beragama tercangkup pula kesadaran akan noram-norma agama. Norma-norma yang sampai saat sekian jauh ini diambil alih tanpa kritik dari orang dewasa mulai diragukan, sedsangkan norma-norma baru belum terbentuk.
Hal ini dapat menimbulakan disorientasi norma dan menimbulkan usaha penghayatan terhadap norma-norma agama. Ia berusaha mencari-cari pegangan baru yang lebih mendasar dan lebih mantap. Nilai-nilai pribadi dan hati nuraninya mengalami pembaruan, restrukturalisasi dan pematangan. Walaupun moral dan agama tidaklah identik, tapi keduanya berhubungan erat.




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak tergantung  dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik yang terjadi didalam diri , usia remaja memang dikenal sebagai usia rawan, remaja memilki karakteristik khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik remaja yang mengalami pertumbuhan pesat, dan sudah menyamai fisikorabg dewasa namun pesatnya pertumbuhan fisik itu belum di imbangi secara setara oleh perkembangan psikologi. Setidaknya bimbingan agama bagi para remaja perlu dirumuskandengan berorientasi pada pendekatan psikologis perkembangan yang serasi dengan karakteristik yang dimilki oleh remaja, dengan demikian nilairemaja tidak hanya lagi pada terbatas pada informasi ajaran yang bersifat normative  dan hitam putih, ajaran agam tidk hanya menampilkan dosa dan pahala, atau sorga dan neraka, apupun sikap dan ganjaran.
B.     Saran
Memberikan pengertian dan bimbingan kepada remaja akan pentingnya agama dengan cara memberi kepercayaan para remaja dalam kegiatan keagamaan seperti halnya remaja di beri kepercayaan dalam ikut serta menjadi pemimpin dalam puja bakti di vihara masing-masing dan juga di ikut sertakan dalam kegiatan memperingati hari-hari besar keagamaan, yang sifatnya menuntut tanggung jawab bagi remaja, sehingga dengan rasa tanggung jawab yang di berikan remaja akan senang dalam menjalaninya.



DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin, 2001. Psikologi Agama. PT Raja Grafindo Jakarta: jakarta.
L. Zulkifli, 2005. Psikologi Pekembangan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Aziz Ahyadi, Abdul, 2005. Psikologi Agama. Sinar Baru Algensindo Offset, Bandung.
Al-Mighwar, Muhamad, 2006. Psikologi Remaja. CV Pustaka Setiya, Bandung.
Muhhamad AL-Mighwar,M.Ag. 2006.  Psikologi remaja. PT. Pustaka,  Bandung.

Empat Keadaan-Batin Luhur Perenungan terhadap Cinta Kasih, Welas Asih, Turut Berbahagia, dan Keseimbangan Batin



Empat keadaan batin yang luhur telah diajarkan oleh Sang Buddha:
1. Cinta atau Cinta kasih (metta)
2. Welas Asih (karuna)
3. Turut berbahagia (mudita)
4. Keseimbangan batin (upekkha)
Dalam bahasa Pali, bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Buddhis, empat keadaan batin ini dikenal juga dengan nama Brahma-vihara. Istilah ini dapat juga diungkapkan sebagai keadaan batin yang sempurna, luhur atau mulia; atau seperti keadaan batin para Brahma atau dewa.
Empat keadaan batin ini dikatakan sempurna atau luhur karena merupakan cara bertindak dan bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup (sattesu samma patipatti). Keempatnya menyediakan jawaban terhadap semua situasi yang muncul dalam kontak sosial. Empat keadaan batin luhur ini merupakan pereda tekanan yang hebat, pencipta kedamaian dalam konflik sosial, serta penyembuh terhadap luka-luka yang diderita dalam perjuangan hidup. Empat keadaan batin luhur ini dapat menghancurkan rintangan-rintangan sosial, membangun komunitas yang harmonis, membangunkan kemurahan hati yang telah lama tertidur dan terlupakan, menghidupkan kembali kebahagiaan dan harapan yang telah lama ditinggalkan, serta mendorong persaudaraan dan kemanusiaan untuk melawan kekuatan egoisme.
Brahma-vihara bertentangan dengan keadaan batin yang penuh keben- cian, dan oleh sebab itulah ia dikatakan bersifat Brahma, pemimpin tertinggi (yang tidak abadi) dari alam-alam surga tingkat atas dalam gambaran Buddhis tradisional mengenai alam semesta. Akan tetapi, berbeda dengan banyak gambaran mengenai dewa-dewi, baik di Timur maupun Barat, yang oleh para pemujanya sendiri dikatakan dapat menunjukkan kemarahan, kemurkaan, iri hati; Brahma dalam Buddhisme dinyatakan telah terbebas dari kebencian. Oleh sebab itu, seseorang yang dengan giat mengembangkan empat keadaan batin luhur ini, melalui tindakan dan meditasi, dapat dikatakan telah menjadi setara dengan Brahma (brahma-samo). Jika empat keadaan batin luhur menjadi pengaruh yang dominan dalam batin orang tersebut, maka ia akan terlahir kembali dalam dunia yang sesuai, yaitu alam-alam Brahma. Oleh sebab itu, empat keadaan batin ini disebut seperti dewa atau Brahma.
Empat keadaan batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya menjadi tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kita rasakan ”di rumah”; empat keadaan batin ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera dilupakan. Den – gan kata lain, batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini. Empat keadaan luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yang tak terpisahkan, dan kita harus sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari Metta Sutta, Syair Cinta Kasih:
Ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring, Selagi tiada lelap Ia tekun mengembangkan kesadaran ini Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma Ke-empat keadaan ini –cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan ke- seimbangan batin– dikenal juga sebagai keadaan tanpa batas (appamañña), karena, dalam kesempurnaan dan sifat sejatinya, keempatnya tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan dalam hal jangkauannya terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini haruslah tidak eksklusif dan tidak hanya mencakup sebagian dari makhluk; tidak dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-prasangka. Batin yang telah mencapai Brahma-vihara yang tak ter- batas ini tidak akan menyimpan kebencian terhadap bangsa, suku, agama maupun kelas/golongan manapun.
Akan tetapi, jika sikap mental luhur ini tidak berakar kuat, tentu tidak akan mudah bagi kita untuk berupaya mewujudkan ketanpa-sekatan maupun menghindarkan diri dari keberpihakan. Dalam banyak kasus, untuk mencapainya kita harus menggunakan empat kualitas ini tidak hanya sebagai prinsip berperilaku dan objek refleksi saja, namun juga sebagai subjek dari meditasi. Meditasi ini disebut Brahma-vihara-bhavana, pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur. Tujuan praktisnya adalah untuk mencapai, dengan bantuan dari keadaan-keadaan luhur ini, tahap-tahap konsentrasi mental yang tinggi yang disebut jhana, “pencerapan meditatif”. Meditasi terhadap cinta, welas asih, dan turut berbahagia masing-masing dapat menghasilkan pencapaian dari tiga pencerapan yang pertama. Sedangkan meditasi terhadap ke- seimbangan batin akan menuntun pada pencapaian jhana keempat yang mana ketenangan batin merupakan faktor yang paling signifikan.
Secara umum, latihan meditasi yang tekun akan menghasilkan dua efek tertinggi: pertama, empat kualitas ini akan tenggelam masuk ke dalam hati sehingga keempat kualitas tersebut menjadi sikap yang spontan dan tidak mudah luntur; kedua, meditasi tersebut akan memunculkan dan mem-pertahankan perluasan yang tanpa batas dari empat kualitas ini dan menyebarkan jangkauan penerimaannya terhadap semua mahkluk. Sebenarnya, instruksi rinci yang diberikan dalam naskah-naskah Buddhis mengenai latihan empat meditasi ini dengan jelas dimaksudkan untuk membuka secara bertahap ketanpabatasan dari keadaan luhur tersebut. Empat keadaan batin yang luhur ini se- cara sistematis menghancurkan semua rintangan yang membatasi perwujudan suatu tempat atau individu tertentu.
Dalam latihan meditasi tersebut, pemilihan orang yang akan dipancarkan cinta, welas asih atau turut berbahagia, dimulai dari yang mudah ke yang makin sulit. Sebagai contoh, ketika bermeditasi cinta kasih, seseorang mulai dengan kehendak untuk hal-hal baik bagi dirinya sendiri, kemudian meng- gunakannya sebagai titik acuan untuk perluasan bertahap: “Sama seperti saya yang ingin bahagia dan bebas dari derita, demikian juga makhluk lain, semoga semua makhluk bahagia dan bebas dari penderitaan!” Kemudian ia memper- luas pikiran cinta kasihnya kepada orang atau siapapun yang ia hormati dan cintai, misalnya seorang guru; kemudian kepada orang-orang yang ia sangat sayangi, kepada orang-orang yang netral, dan terakhir kepada musuh-musuhnya ataupun orang-orang yang tidak disukai. Karena meditasi ini berkaitan dengan kesejahteraan makhluk hidup, seseorang seharusnya tidak memilih objek orang yang telah meninggal maupun orang yang dapat menimbulkan perasaan/ketertarikan seksual.
Setelah mampu mengatasi tugas yang tersulit yaitu mengarahkan pikiran cinta kasih kepada orang-orang yang tidak disukai, ia sekarang seharusnya te- lah “menghancurkan rintangan” (sima-sambheda). Tanpa membeda-bedakan keempat tipe orang yang telah disebutkan di atas, ia memancarkan cinta kasihnya kepada semua secara sama dan merata. Dalam tahap latihan ini, ia akan mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi: dengan munculnya gambaran refleksi mental (patibhaganimitta), “konsentrasi mendekati” (upacara samadhi) akan telah tercapai, dan kemajuan lebih jauh akan menuntun menuju “konsentrasi pencapaian” (appana) dari jhana pertama, kemudian ke jhana- jhana berikutnya yang lebih tinggi.
Dalam hal perluasan ruang, latihan meditasi ini dimulai dari lingkungan diri sendiri dulu seperti keluarga, kemudian diperluas ke rumah-rumah tetangga, ke seluruh jalan, kota, negara, negara lain, dan seluruh dunia. Dalam “perluasan arah”, pikiran cinta kasih seseorang diarahkan dulu ke arah timur, kemudian ke barat, utara, selatan, tengah, atas (zenith) dan bawah (nadir).
Prinsip yang sama digunakan juga dalam pengembangan meditatif ter- hadap welas asih, turut berbahagia, dan keseimbangan batin, dengan variasi yang tepat dalam pemilihan orang-orang yang dituju. Perincian latihan ini lebih lanjut dapat ditemukan dalam naskah-naskah. (lihat Visuddhimagga, Bab IX)
Tujuan akhir dari pencapaian Brahma-vihara-jhana ini adalah untuk meng- hasilkan suatu keadaan batin yang dapat menjadi landasan kokoh untuk penembusan pemahaman atau pencapaian pencerahan mengenai sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidak-kekalan, dapat mengalami penderitaan, dan tanpa inti. Batin yang telah mencapai pencerapan meditatif yang dipengaruhi oleh empat keadaan luhur ini akan menjadi murni, damai, teguh, terpusat dan bebas dari egoisme yang kasar. Dengan demikian, batin akan siap untuk pembebasan akhir yang hanya dapat dilengkapi melalui pencerahan.
Pembahasan sebelumnya menunjukkan ada dua cara mengembangkan keadaan batin yang luhur: pertama, melalui tingkah laku dan pengarahan pikiran yang tepat; dan kedua, melalui metode meditasi yang menuju pada pencerapan-pencerapan. Kedua cara ini akan membantu satu sama lain. Latihan meditasi secara bertahap akan membantu menimbulkan cinta, welas asih, kebahagiaan dan keseimbangan batin menjadi spontan. Latihan ini juga akan membuat batin lebih teguh dan tenang dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang menyakitkan yang menantang kita untuk mem-pertahankan empat kualitas luhur ini dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan.
Di sisi lain, jika tingkah laku seseorang semakin banyak diarahkan oleh empat keadaan luhur ini, batin akan memendam semakin sedikit sakit hati, tekanan dan ketersinggungan; gema-gema yang seringkali secara halus menyusup masuk pada saat meditasi, membentuk yang disebut “belenggu kegelisahan”. Kehidupan dan pikiran kita sehari-hari memiliki pengaruh yang kuat terhadap batin saat meditasi; hanya apabila celah diantara keduanya disempitkan secara terus menerus barulah ada kesempatan untuk kemajuan meditasi yang mantap dan pencapaian tujuan tertinggi dari latihan kita.
Pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur ini dapat dibantu dengan refleksi yang berulang-ulang terhadap kualitas-kualitas keadaan luhur tersebut, manfaat yang ditawarkan oleh keadaan luhur dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat yang bertentangan dengan keadaan luhur tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Buddha, “Apa yang seseorang pikirkan dan refleksikan selama jangka waktu yang panjang, ke sanalah batinnya akan condong dan mengarah.”
Kutipan mengenai Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha
I.     Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi cinta kasih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi cinta kasih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.
II.  Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi welas asih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi welas asih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.
III.   Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi turut berbahagia, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi turut berbahagia, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. Kutipan mengenai Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha
IV.   Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi keseimbangan batin, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi dengan keseimbangan batin, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. – Digha Nikaya 13.
Perenungan terhadap Empat Keadaan Luhur
I.Cinta (Metta)
Cinta, tanpa nafsu untuk memiliki, memahami dengan baik bahwa dalam hakikat tertinggi, tidaklah ada kepemilikan maupun pemilik: inilah cinta yang tertinggi. Cinta, tanpa berbicara dan berpikir mengenai “Aku”, memahami dengan baik bahwa apa yang dinamakan “Aku” sebenarnya hanyalah delusi. Cinta, tanpa memilih maupun mengecualikan, memahami dengan baik bahwa melakukan hal tersebut (diskriminasi) berarti menciptakan kualitas sifat-sifat yang bertentangan dengan cinta itu sendiri: perasaan tidak suka, kejengkelan maupun kebencian. Cinta, merangkul semua makhluk: kecil maupun besar, jauh maupun dekat, baik di darat, air, maupun udara. Cinta, merangkul semua makhluk tanpa memihak, bukan hanya terhadap orang-orang yang berguna, menyenangkan dan kita sukai. Cinta, merangkul semua makhluk, baik yang memiliki batin luhur maupun rendah, batin yang baik ataupun jahat. Mereka yang berhati mulia dan baik dirangkul karena cinta mengalir ke mereka secara spontan. Mereka yang berhati rendah dan jahat juga dirangkul karena mereka lah yang sangat membutuhkan cinta. Banyak dalam diri mereka, benih-benih kebajikan mungkin telah mati karena kurangnya kehangatan untuk dapat tumbuh dan bertunas, karena benih itu telah musnah akibat kedinginan dalam dunia yang tanpa cinta. Cinta, merangkul semua makhluk, memahami dengan baik bahwa kita semua sama-sama merupakan pengembara dalam siklus eksistensi – bahwa kita semua mengalami hukum yang sama mengenai penderitaan. Cinta, bukan api sensasi yang membakar, menghanguskan dan menyiksa, yang menyebabkan lebih banyak luka daripada yang dapat ia obati – yang seketika menyala terang, dan tiba-tiba padam, menyisakan banyak perasaan dingin dan kesepian dibandingkan sebelumnya. Melainkan, cinta yang terulur bagaikan tangan yang lembut namun kokoh kepada makhluk-makhluk yang sakit dan bermasalah, tidak berubah dalam hal perasaan simpatiknya, tanpa kebimbangan, tidak menyurut ketika men-dapatkan respon apapun. Cinta yang memberikan kesejukan yang nyaman kepada mereka yang terbakar oleh api penderitaan dan nafsu; yang merupakan kehangatan pemberi kehidupan bagi mereka yang ditinggalkan dalam padang pasir kesepian yang dingin, bagi mereka yang gemetaran kedinginan dalam kebekuan dunia tanpa cinta; bagi mereka yang hatinya seolah telah menjadi kosong dan kering akibat panggilan berulang-ulang meminta pertolongan yang tak kunjung tiba, akibat perasaan putus asa yang paling dalam. Cinta, yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami dan siap untuk membantu. Cinta, yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah cinta tertinggi. Cinta, yang oleh “Ia yang Telah Tercerahkan” disebut sebagai “pembebasan dari hati”, “keindahan yang paling luhur”: inilah cinta tertinggi. Dan apa perwujudan tertinggi dari cinta?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
II.  Welas Asih (Karuna)
Dunia menderita. Namun kebanyakan manusia menutup mata dan telinganya. Mereka tidak melihat aliran air mata yang terus mengalir dalam kehidupan; mereka tidak mendengar jeritan dan ratap tangis kesedihan yang secara terus menerus menyelubungi dunia ini. Kesedihan dan kesenangan kecil mereka sendiri telah menghalangi pandangan mereka, menulikan telinga mereka. Terikat oleh sikap mementingkan diri sendiri, hati mereka berubah menjadi kaku dan sempit. Dengan hati yang kaku dan sempit, bagaimana mereka dapat berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, untuk menyadari bahwa dengan terlepas dari kemelekatan egois barulah dapat mencapai keterbebasan dari penderitaan? Welas asihlah yang menyingkirkan penghalang berat tersebut, membuka pintu menuju pembebasan, membuat hati yang sempit menjadi seluas dunia. Welas asih menyingkirkan beban berat yang ada di hati, beban yang melumpuhkan; welas asih memberi sayap bagi mereka yang berada dalam keadaan diri yang rendah.
Melalui welas asih, fakta adanya penderitaan akan dengan jelas selalu hadir dalam batin kita, bahkan pada masa-masa ketika kita secara pribadi sedang terbebas dari penderitaan. Welas asih akan memberi kita pengalaman yang kaya mengenai penderitaan, sehingga menguatkan kita untuk mengha-dapinya, ketika penderitaan tersebut menimpa diri kita. Welas asih membuat kita bersyukur dan menghargai nasib kita dengan menunjukkan pada kita bagaimana kehidupan pihak lain, yang seringkali jauh lebih sukar dan menyedihkan dibanding hidup kita.
Lihatlah perjalanan tanpa akhir makhluk-makhluk, manusia dan hewan, terbebani oleh kesedihan dan rasa sakit! Beban yang ada pada setiap dari mereka, juga telah kita bawa melalui rentetan kelahiran berulang yang tak terukur dalamnya dari suatu masa yang sangat lampau. Lihatlah ini, dan bukalah hatimu terhadap welas asih! Dan kesengsaraan ini mungkin saja menjadi nasib kita lagi! Ia yang tanpa welas asih sekarang, suatu saat akan menangis menyesalinya. Jika perasaan simpatik terhadap pihak lain sangat sedikit, perasaan simpatik ini juga akan kita capai melalui pengalaman diri sendiri yang panjang dan menyakitkan. Inilah hukum yang luar biasa dari kehidupan. Pahamilah ini, jagalah dirimu!
Makhluk-makhluk tenggelam dalam ketidakpedulian (ignorance), tersesat dalam delusi, tergesa-gesa dari satu penderitaan ke yang lain, tidak mengetahui penyebab sesungguhnya, tidak tahu bagaimana melarikan diri darinya. Penembusan pemahaman terhadap hukum universal mengenai penderitaan ini merupakan landasan nyata dari welas asih yang kita miliki, bukanlah karena adanya fakta penderitaan tertentu saja.
Dengan demikian, welas asih kita juga akan mencakup mereka yang saat ini mungkin sedang bahagia, namun bertindak dengan batin yang jahat dan terdelusi. Dalam perbuatan yang mereka lakukan saat ini, kita akan dapat melihat masa depan mereka yang penuh kesedihan, dan karenanya welas asih akan muncul. Welas asih dari seseorang yang bijaksana tidak akan menyebabkannya menjadi korban dari penderitaan. Pikiran, kata-kata dan perbuatannya penuh belas kasih. Akan tetapi, hatinya tidaklah bimbang; sebagaimana adanya, jernih dan tenang. Dengan bagaimana lagi ia dapat membantu?
Semoga welas asih demikian dapat tumbuh dalam hati kita! Welas asih yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami, dan siap untuk membantu. Welas asih yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah welas asih tertinggi. Dan apa perwujudan tertinggi dari welas asih?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
III. Turut berbahagia (Mudita)
Tidak hanya terhadap welas asih, namun juga terhadap turut berbahagia, bukalah hatimu!
Kecil memang, porsi kebahagiaan dan kegembiraan yang terbagi ke makhluk-makhluk! Ketika secercah kecil kebahagiaan datang kepada mereka, maka kamu dapat ikut berbahagia bahwasanya satu berkas kegembiraan telah membelah kegelapan dalam hidup mereka, dan mengusir kabut kelabu dan muram yang membungkus hati mereka.
Hidupmu akan meraih kegembiraan dengan berbagi kebahagiaan orang lain seakan-akan sebagai kebahagiaanmu sendiri. Tidak pernahkah kamu mengamati bagaimana dalam momen-momen kebahagiaan, karakteristik seseorang dapat berubah dan menjadi cerah dengan kegembiraan? Tidak pernahkah kamu memperhatikan bagaimana kegembiraan membangkitkan manu- sia ke dalam aspirasi dan perbuatan yang mulia, melampaui kapasitas normal mereka? Bukankah pengalaman demikian akan mengisi hatimu sendiri dengan berkah kegembiraan? Ada pada dirimu sendiri kemampuan untuk mening- katkan pengalaman kebahagiaan simpatik sedemikian, dengan menghasilkan kebahagiaan dalam diri orang lain, dengan membawakan mereka kegembiraan dan kenyamanan.
Mari kita mengajarkan suka cita yang sesungguhnya kepada manusia! Banyak yang telah melupakannya. Kehidupan, meski penuh dengan lara nestapa, juga membawakan sumber-sumber kebahagiaan dan suka cita, tidak disadari oleh banyak orang. Mari kita mengajarkan orang-orang untuk mencari dan menemukan suka cita sesungguhnya dalam diri mereka dan untuk turut berbahagia atas suka cita orang lain! Mari kita ajarkan mereka untuk menyingkapkan suka cita mereka pada derajat yang semakin mulia.
Suka cita yang luhur dan mulia tidaklah asing dalam ajaran Ia yang Telah Tercerahkan. Secara keliru ajaran Buddha kadangkala dikira sebagai ajaran yang penuh kemurungan. Jauh dari itu, sebenarnya Dhamma (ajaran Buddha/ Kebenaran) menuntun kita selangkah demi selangkah menuju kebahagiaan yang bahkan semakin murni dan agung. Suka cita yang luhur dan mulia adalah penolong dalam jalan menuju lenyapnya penderitaan. Bukanlah ia yang depresi dan tertekan dalam kesedihan, melainkan ia yang memiliki kebahagiaan, yang dapat menemukan keheningan yang jernih yang menuntun pada keadaan batin yang kontemplatif. Dan hanya batin yang hening damai dan terpusat yang dapat mencapai kebijaksanaan yang membebaskan.
Semakin luhur dan mulia suka cita orang lain, semakin kukuh kebahagiaan simpatik dalam diri kita sendiri. Penyebab turut berbahagianya diri kita ter- hadap suka cita pihak lain adalah karena kehidupan mereka yang mulia akan menjaga mereka dalam kebahagiaan saat ini maupun di kehidupan sesudahnya. Penyebab yang lebih mulia turut berbahagianya diri kita terhadap suka cita pihak lain adalah keyakinan mereka dalam Dhamma, pemahaman mereka mengenai Dhamma, kehidupan mereka yang mengikuti Dhamma. Marilah kita memberikan bantuan Dhamma kepada mereka! Marilah kita berjuang untuk menjadikan diri kita semakin mampu menawarkan bantuan tersebut! Turut berbahagia berarti keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami, dan siap untuk membantu. Turut berbahagia yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: adalah kebahagiaan tertinggi. Dan apa perwujudan tertinggi dari turut berbahagia?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya pen- deritaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.
IV. Keseimbangan Batin (Upekkha)
Keseimbangan batin adalah kondisi seimbangnya batin yang sempurna dan tak tergoyahkan, yang berakar dalam penembusan pemahaman.
Melihat dunia di sekitar kita, dan melihat ke dalam hati kita sendiri, mengerti dengan jelas betapa sulitnya untuk mencapai dan mempertahankan keseimbangan batin. Melihat ke dalam kehidupan, kita perhatikan bagaimana ia bergerak antara hal-hal yang kontras: keuntungan dan kehilangan, terkenal dan tidak terkenal, dipuji dan dihina, kebahagiaan dan penderitaan. Kita merasakan bagaimana hati kita merespon terhadap semua ini dengan perasaan bahagia dan kesedi- han, semangat dan keputus-asaan, kekecewaan dan kepuasan, harapan dan rasa takut. Gelombang-gelombang emosi ini melambungkan kita ke atas dan juga mencampakkan kita ke bawah; dan belum lama kita dapat istirahat sebentar, kita sudah diseret oleh gelombang baru berikutnya. Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk terus menapaki puncak kejayaan? Bagaimana bisa kita mendirikan bangunan kehidupan kita di tengah-tengah samudera keberadaan yang tak pernah diam ini, jika bukan di atas pulau keseimbangan batin?
Sebuah dunia dimana seporsi kecil kebahagiaan dapat terbagi ke makhluk-makhluk yang dicapai setelah melalui banyak kekecewaan, kegagalan dan kekalahan; Sebuah dunia dimana hanya keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, lagi dan lagi, yang menjanjikan kesuksesan; Sebuah dunia dimana sejumlah kecil kebahagiaan tumbuh di antara ke- sakitan, perpisahan dan kematian; Sebuah dunia dimana makhluk-makhluk yang baru saja mendapatkan kebahagiaan simpatik dari kita, pada saat berikutnya membutuhkan welas asih dari kita – dunia yang seperti ini membutuhkan keseimbangan batin.
Akan tetapi, jenis keseimbangan batin yang diperlukan mestilah yang ber- landaskan pada keberadaan batin yang waspada, bukan pada kemalasan yang tidak peduli dan sikap masa bodoh. Keseimbangan batin ini mestilah hasil dari latihan keras dan tekun, bukan efek kebetulan dari suasana hati yang sedang dialami. Namun keseimbangan batin tidaklah pantas dinamakan “keseimbangan batin” seandainya ia mesti dihasilkan melalui pengerahan upaya lagi dan lagi. Dalam kasus demikian, keseimbangan batin akan semakin dilemahkan dan akhirnya dikalahkan oleh perubahan-perubahan dalam hidup. Keseimbangan batin yang sejati, bagaimanapun juga, haruslah mampu menjawab semua ujian-ujian yang keras ini dan mampu menghidupkan kembali kekuatannya dari sumber-sumber dalam diri. Keseimbangan batin akan memiliki kekuatan ketahanan dan pemahaman diri hanya jika ia berakar pada penembusan pemahaman (insight).
Lantas, bagaimana sifat dari penembusan pemahaman tersebut? Yaitu pemahaman yang jernih bagaimana semua perubahan hidup ini berasal, dan sifat sejati diri kita sendiri. Kita harus mengerti bahwa pengalaman beraneka ragam yang kita alami berasal dari kamma kita – tindakan kita baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan – yang dilakukan pada kehidupan ini mau- pun kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kamma merupakan rahim darimana kita berasal (kamma-yoni), dan suka tidak suka, kita adalah pemilik tak ter- hindarkan dari perbuatan kita (kamma-ssaka). Akan tetapi, segera sesudah kita melakukan tindakan, kendali kita terhadapnya hilang: ia selamanya ber- sama kita dan tak terhindarkan akan kembali ke kita sebagai warisan yang sesuai (kamma-dayada). Tidak ada hal yang terjadi pada kita berasal dari dunia luar asing yang bermusuhan dengan diri kita; segalanya adalah hasil dari batin dan perbuatan kita sendiri. Karena pengetahuan ini membebaskan kita dari rasa takut, ia adalah landasan pertama dari keseimbangan batin. Pada ketika dalam segala hal yang menimpa kita disebabkan diri kita sendiri mengapa kita mesti merasa takut?
Akan tetapi, jika rasa takut ataupun kekhawatiran tetap muncul, kita mengetahui naungan yang dapat meredakan perasaan-perasaan ini: perbuatan baik kita (kamma-patisarana). Dengan mengambil naungan ini, keyakinan diri dan keberanian akan tumbuh dalam diri kita – keyakinan diri terhadap kekua- tan perlindungan dari perbuatan baik kita di masa lampau; keberanian untuk melakukan lebih banyak lagi perbuatan baik sekarang; walaupun kita sedang menghadapi kehidupan yang penuh kesukaran saat ini. Sebab kita mengetahui bahwa perbuatan yang mulia dan tidak mementingkan diri sendiri menyediakan pertahanan terbaik terhadap hantaman takdir yang keras; bahwasanya tidak pernah terlambat dan selalu saja tiap saat adalah waktu yang sesuai untuk melakukan perbuatan baik.
Jika perlindungan ini, melakukan kebajikan dan menghindari kejahatan, telah kukuh tertanam dalam diri kita, suatu hari kita akan merasa yakin: “Semakin banyak dan semakin banyak yang menghentikan kesengsaraan dan ke- jahatan yang berakar pada masa lalu. Dan pada kehidupan saat ini – saya mencoba untuk membuatnya tanpa noda dan murni. Apalagi yang dapat masa depan berikan selain meningkatnya kebaikan?” Dari keyakinan inilah, batin kita menjadi tenang, dan kita akan memperoleh kekuatan kesabaran dan keseimbangan batin untuk menahan segala beban kesulitan diri kita pada saat ini. Lantas perbuatan-perbuatan kita akan menjadi sahabat kita (kamma- bandhu).
Demikian juga, semua peristiwa beragam dalam hidup kita, sebagai akibat dari perbuatan kita, juga akan menjadi sahabat-sahabat kita, bahkan sekalipun hal-hal tersebut membawakan kita kesedihan dan rasa sakit. Perbuatan-per- buatan kita kembali pada diri kita dalam samaran yang seringkali sulit dikenali. Terkadang tindakan-tindakan kita kembali pada diri kita melalui bagaimana sikap orang lain memperlakukan kita, kadangkala melalui perubahan mendadak keseluruhan dalam hidup kita; sering pula hasil-hasil perbuatan kita bertentangan dengan pengharapan ataupun keinginan kita. Pengalaman-pengalaman demikian menunjukkan pada kita konsekuensi-konsekuensi perbuatan yang tidak kita perkirakan sebelumnya; mereka menunjukkan motif-motif setengah sadar dari tindakan lampau kita yang bahkan ingin kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang ingin kita tutupi dengan berbagai dalih dan alasan palsu. Jika kita belajar untuk melihat hal-hal dari sudut ini dan membaca pesan yang dibawakan oleh pengalaman kita sendiri, maka penderitaan sekalipun akan menjadi sahabat kita. Ia akan menjadi sahabat yang tegas, namun juga sahabat yang penuh kebenaran dan berniat baik yang mengajarkan kita pelajaran yang paling sulit, pengetahuan mengenai diri kita sendiri, serta memperingatkan kita terhadap jurang yang sedang kita tuju secara membuta. Dengan melihat penderitaan sebagai guru dan sahabat kita, kita akan lebih berhasil menghadapinya dalam keseimbangan batin. Sebagai akibatnya, ajaran tentang kamma akan memberikan kita kekuatan/gerak hati yang kuat untuk membebaskan diri kita dari kamma, dari perbuatan-perbuatan yang lagi dan lagi melemparkan kita ke dalam penderitaan kelahiran berulang. Perasaan jijik akan timbul terhadap nafsu kemelekatan diri kita sendiri, terhadap delusi, terhadap ke- cenderungan alamiah diri kita sendiri untuk menciptakan situasi yang men- coba kekuatan kita, ketahanan kita dan keseimbangan batin kita.
Penembusan pemahaman kedua sebagai landasan keseimbangan batin adalah ajaran Buddha tentang tanpa-aku (anatta). Ajaran ini menunjukkan bahwa dalam hakikat yang tertinggi, perbuatan tidaklah dilakukan oleh diri manapun, juga akibat perbuatan tersebut tidak berakibat pada diri manapun. Lebih jauh, hal ini menunjukkan bahwa jika tidak ada diri, kita tidak dapat mengatakan “milikku”. Adalah delusi terhadap suatu “aku” yang menciptakan penderitaan dan mengusik atau mengganggu keseimbangan batin. Jika sifat tertentu dari diri kita disalahkan, kita akan berpikir: “Aku disalahkan” dan keseimbangan batin menjadi goyah. Jika suatu kerja tidak berhasil, kita berpikir: “Pekerjaanku telah gagal” dan keseimbangan batin menjadi goyah. Jika kehilangan kekayaan atau orang-orang yang dicintai, kita berpikir: “Apa yang menjadi milikku telah pergi” dan keseimbangan batin menjadi goyah.
Untuk mewujudkan keseimbangan batin sebagai keadaan batin yang tak tergoyahkan, seseorang harus melepaskan semua pikiran-pikiran posesif mengenai “milikku”, dimulai dari hal-hal kecil yang mudah dilepas, dan secara bertahap hingga kepemilikan dan tujuan yang sangat didambakan segenap hati. Seseorang juga harus menghentikan penyokong pikiran-pikiran yang demikian, semua pikiran egois tentang “aku”, dimulai dari sebuah bagian kecil kepribadian, yang tidak terlalu penting, dari kelemahan kecil yang ia lihat dengan jelas, dan secara bertahap hingga kepada bentuk-bentuk emosi dan ketidaksukaan terhadap sesuatu yang ia anggap sebagai pusat dirinya. Pelepasan seperti ini mesti dilatih. Hingga suatu tahapan kita meninggalkan pikiran tentang “milikku” atau “aku”, keseimbangan batin akan memasuki hati kita. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yang kita sadari adalah asing dan tanpa suatu diri dapat mengusik kita melalui nafsu, kebencian atau kesedihan? Dengan demikian, ajaran mengenai tiada-aku akan menjadi penuntun kita dalam jalan pembebasan, menuju keseimbangan batin yang sempurna.
Keseimbangan batin adalah mahkota dan puncak dari empat keadaan batin yang luhur. Namun hal ini bukan dipahami bahwasanya keseimbangan batin adalah penolakan terhadap cinta, welas asih dan kebahagiaan simpatik, ataupun bahwasanya keseimbangan batin lebih unggul dibanding yang lainnya. Jauh dari itu, keseimbangan batin mencakup dan menyebar menyeluruh di dalam tiga keadaan luhur tersebut, sama halnya tiga keadaan luhur menyebar menyeluruh di dalam keseimbangan batin yang sempurna.
Kesalingterkaitan antar Empat Keadaan Luhur
Lantas, bagaimana empat keadaan batin yang luhur ini saling menyebar dan meresap satu sama lain? Cinta yang tak tersekat menjaga welas asih agar tidak memihak, mencegahnya dari pendiskriminasian memilih dan mengecualikan dan dengan demikian melindunginya dari keberpihakan ataupun ketidaksukaan terhadap sisi yang dikecualikan.
Cinta membagikan sifat tanpa egonya kepada keseimbangan batin, sifatnya yang tanpa sekat dan bahkan kehangatannya. Sebab kehangatan juga, apabila ditransformasikan dan dikendalikan, merupakan bagian dari keseimbangan batin yang sempurna, menambah kekuatan penembusan mendalam dan kendali diri yang bijaksana dari keseimbangan batin tersebut.
Welas asih mencegah cinta dan turut bahagia melupakan bahwa, selagi keduanya sedang menikmati atau memberikan kebahagiaan yang terbatas dan sementara, pada saat yang bersamaan terdapat keadaan penderitaan yang sangat mengerikan di dunia. Welas asih mengingatkan bahwa kebahagiaan mereka ada pada saat yang sama dengan kesengsaraan yang tidak terukur, mungkin saja di pintu tetangga sebelah. Ia adalah pengingat kepada cinta dan turut berbahagia bahwa ada lebih banyak penderitaan di dunia dibanding yang dapat mereka redakan; bahwa setelah efek dari peredaan penderitaan tersebut sirna, kesedihan dan rasa sakit tentu saja akan muncul lagi hingga penderitaan tersebut dapat dicabut sampai ke akar-akarnya melalui pencapaian Nibbana. Welas asih tidak mengizinkan cinta dan turut berbahagia menutup diri terhadap dunia luas dengan membatasi pada suatu bagian sempit. Welas asih mencegah cinta dan turut berbahagia berubah menjadi keadaan puas diri di dalam kebahagiaan sempit. Welas asih menggerakkan dan mendorong cinta untuk meluaskan cakupannya; welas asih menggerakkan dan mendorong turut berbahagia untuk mencari perbaikan baru. Dengan demikian, welas asih membantu keduanya tumbuh di dalam keadaan yang sungguh-sungguh tanpa batas (appamañña).
Welas asih menjaga keseimbangan batin agar tidak jatuh ke dalam keti- dakpedulian yang dingin, dan menjaganya dari isolasi yang egois dan malas. Hingga keseimbangan batin mencapai kesempurnaan, welas asih terus men- dorongnya lagi dan lagi untuk masuk ke dalam pertempuran dunia, agar mampu menghadapi ujian, dengan melakukan penempaan dan penguatan diri (keseimbangan batin).
Turut berbahagia mencegah welas asih terhanyutkan akibat melihat penderitaan dunia, mencegahnya terserap di dalam penderitaan dan men- gacuhkan semua yang lain. Turut berbahagia melegakan tekanan batin, meredakan sakit akibat terbakarnya hati yang welas asih. Turut berbahagia mencegah welas asih dari pikiran panjang murung tanpa tujuan, dari perasaan sedih sia-sia yang hanya semakin melemahkan dan menguras energi hati dan pikiran. Turut berbahagia mengembangkan welas asih menjadi perasaan simpatik yang aktif. Turut berbahagia memberikan keseimbangan batin suatu ketenangan yang lembut yang melunakkan penampilannya yang kaku. Ia adalah senyuman indah pada wajah Ia yang Tercerahkan, senyuman yang tetap bertahan di antara pengetahuan Beliau yang sangat mendalam mengenai penderitaan dunia, suatu senyuman yang memberikan kenyamanan dan harapan, perasaan tanpa takut dan keyakinan diri: “Pintu terbuka lebar untuk menuju pembebasan”, demikian yang dikatakan.
Keseimbangan batin yang berakar dalam penembusan pemahaman adalah kekuatan kendali diri dan penuntun bagi tiga keadaan luhur lainnya. Keseimbangan batin menunjukkan arah bagi ketiganya, dan melihat apakah arah itu diikuti. Keseimbangan batin menjaga cinta dan welas asih agar tidak terbuang dalam pencarian yang sia-sia dan tersesat dalam labirin emosi yang tak terkontrol. Keseimbangan batin, yang merupakan pengendali diri yang waspada untuk mencapai tujuan akhir, tidak mengizinkan turut berbahagia untuk berpuas diri dengan hasil yang rendah dan melupakan tujuan sebenarnya yang harus kita perjuangkan.
Keseimbangan batin, yang berarti “kesadaran yang tenang”, memberikan kepada cinta suatu kesetiaan dan kekokohan yang tidak berubah dan tenang. Keseimbangan batin memberikan cinta kasih kebijaksanaan agung dari ke- sabaran. Keseimbangan batin melengkapi welas asih dengan suatu perasaan tanpa takut serta keberanian yang tenang dan tak tergoyahkan, yang memung- kinkan welas asih untuk menghadapi jurang kesengsaraan dan keputusasaan yang sangat dalam dan menakutkan, yang terus menantang welas asih tanpa batas lagi dan lagi. Bagi sisi aktif welas asih, keseimbangan batin merupa- kan tangan (bantuan) yang kuat dan tenang yang dituntun oleh kebijaksanaan – yang tak ternilai harganya bagi mereka yang ingin melatih seni menolong orang lain yang sulit dipelajari. Dan lagi, di sini keseimbangan batin berarti kesabaran, pencurahan hati yang sabar terhadap pekerjaan welas asih.
Dalam hal ini dan hal lainnya, keseimbangan batin boleh dikatakan se- bagai mahkota dan puncak dari tiga keadaan luhur lainnya. Tiga keadaan yang pertama, jika tidak terhubung dengan keseimbangan batin dan penembusan pemahaman, dapat mengerut/menyusut akibat kurangnya faktor penstabil. Kebajikan-kebajikan yang terisolasi, jika tidak didukung oleh kualitas-kualitas lain yang memberikannya kelenturan dan kekokohan yang dibutuhkan, sering- kali merosot ke dalam kekurangan-kekurangannya sendiri. Sebagai contoh, cinta kasih, tanpa energi dan penembusan pemahaman, dapat mudah condong menjadi hanya kebaikan emosional yang sifatnya lemah dan tidak dapat diyakini. Lagi pula, kebajikan-kebajikan terisolasi yang demikian mungkin seringkali membawa kita ke arah yang bertentangan dengan tujuan asli kita dan bertentangan dengan kesejahteraan pihak lain juga. Adalah karakter pribadi yang kokoh dan seimbang yang dapat merajut kebajikan-kebajikan terisolasi tersebut menjadi keseluruhan yang menyatu dan harmonis, di mana masing-masing kualitas menunjukkan perwujudan terbaiknya dan menghindari perangkap kelemahannya sendiri. Dan inilah fungsi sesungguhnya dari keseimbangan batin, bagaimana halnya ia berkontribusi dalam hubungan yang ideal di antara semua empat keadaan batin yang luhur.
Keseimbangan batin adalah keadaan batin yang sempurna, seimbang tak tergoyahkan, yang berakar pada penembusan pemahaman. Namun dalam kesempurnaan dan sifat tak tergoyahkannya, keseimbangan batin tidaklah dingin, kaku, masa bodoh dan tidak berperasaan. Kesempurnaannya bukanlah karena “kekosongan” emosional, namun karena “penuhnya” pemahaman, karena kelengkapan dalam dirinya sendiri. Sifatnya yang tak tergoyahkan bukanlah seperti batu dingin, mati, yang tak dapat digeser; melainkan perwujudan dari kekuatan tertinggi.
Dalam hal bagaimana, keseimbangan batin sempurna dan tak tergoyahkan?
Apapun yang menyebabkan kemandekan telah dihancurkan, apa yang membendung telah disingkirkan, apa yang menghalangi telah dihancurkan. Sirna sudah pusaran-pusaran emosi dan lekak-lekuk intelektualitas. Tiada terganggu gerak aliran kesadaran yang tenang dan agung, murni serta me- mancarkan cinta kasih dan kebahagiaan. Perhatian yang waspada (sati) telah mengharmoniskan kehangatan dari keyakinan (saddha) dengan tajamnya penembusan dari kebijaksanaan (pañña); telah menyeimbangkan kekuatan dari semangat (viriya) dengan ketenangan dari batin (samadhi); dan lima kekuatan indria (indriya) telah tumbuh menjadi kekuatan-kekuatan dalam diri (bala) yang tidak dapat hilang lagi. Ia tidak akan hilang karena tidak lagi tersesat dalam labirin dunia (samsara); dalam ketersebaran hidup (papañca). Kekuatan-kekuatan dalam ini mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun karena terjaga oleh kesadaran, kekuatan-kekuatan ini tidak mengikatkan diri di manapun lagi, dan oleh karenanya tidak berubah lagi. Cinta, welas asih dan turut berbahagia terus mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun karena terjaga oleh keseimbangan batin, mereka tidak menggantungkan diri lagi di manapun, dan kembali tanpa menjadi semakin lemah dan ternoda.
Dengan demikian, di dalam diri arahat, Ia yang Terbebaskan, tidak ada yang berkurang akibat memberi, dan ia tidak menjadi semakin miskin dengan menawarkan orang lain kekayaan hati dan pikirannya. Arahat bagaikan kristal yang jernih dan terpotong dengan baik, tanpa noda, menyerap sepenuhnya semua berkas cahaya dan memancarkannya keluar kembali, sambil diperkuat oleh kekuatan konsentratifnya. Berkas cahaya tidak dapat menodai kristal tersebut dengan aneka warna-warninya. Berkas-berkas cahaya ini tidak dapat membelah kerasnya kristal tersebut, dan juga mengganggu strukturnya yang harmonis. Di dalam kemurnian dan kekuatannya yang tulen, kristal tersebut tetap tak berubah. “Seperti halnya semua aliran sungai dunia masuk ke samudera luas dan semua air di langit hujan ke samudera tersebut, namun samudera luas tersebut tidak terlihat bertambah atau berkurang” – demikian juga sifat dasar dari keseimbangan batin yang suci.
Keseimbangan batin yang suci, atau – sebagaimana yang mungkin kita ungkapkan – arahat yang berada dalam keseimbangan batin yang suci, adalah pusat inti dari dunia. Tetapi pusat inti ini haruslah dibedakan dari pusat-pusat lingkupan terbatas yang tampak dan tak terkira banyaknya; dalam hal “karak- teristik” khasnya, hukum-hukum yang mengatur, dan sebagainya. Semua ini hanyalah pusat-pusat yang tampak, karena mereka akan berhenti menjadi pu- sat ketika lingkupannya, mematuhi hukum-hukum ketidakkekalan, mengalami perubahan total dalam strukturnya; dan akibatnya pusat dari gaya tariknya, material maupun mental, akan berubah. Namun, pusat inti dari keseimbangan batin arahat adalah tak tergoyahkan, karena ia tidak lagi berubah. Ia tidak lagi berubah karena ia tidak bergantung pada apapun lagi.
Seperti yang dikatakan Guru:
Bagi ia yang bergantung, akan ada gerakan; namun bagi ia yang tiada lagi bergantung, tiada lagi gerakan. Di mana tiada gerakan, di sana ada keheningan. Di mana ada keheningan, tiada lagi kemelekatan. Ketika tiada lagi kemelekatan, tiada lagi datang maupun pergi. Di mana tiada lagi datang maupun pergi, tiada lagi kemunculan (kelahiran) maupun kepergian (kematian). Ketika tiada lagi kemunculan maupun kepergian, tiada lagi dunia ini maupun dunia di luar ini, ataupun keadaan di antara kedua dunia ini. Ini, sesungguhnya, adalah berakhirnya penderitaan. –Udana 8.3.