Bagaimana pandangan Agama Buddha atas upaya bunuh diri?
Ada beberapa
kejadian yang tercantum dalam Tipitaka tentang Bhikkhu-Bhikkhu yang bunuh diri
(Dalam Godhika Sutta dalam Samyutta
Nikaya dan Ulasan Dhammapada ; Kisah Bhikkhu Vakkhali dalam Samyutta Nikaya )
Hal ini dinyatakan Sang Buddha sebagai tidak tercela apabila atas dasar :- Bahwa Bhikkhu itu telah menjadi
Arahat, yang telah bebas dari Lobha, Dosa dan Moha., atau Secara pasti akan
menjadi Arahat sebelum kematiannya, dan bunuh diri dengan dasar-dasar tersebut
hanyalah untuk mengakhiri penyakit yang tak tersembuhkan.!
Bila tidak berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengambilan nyawa manusia atau anjuran untuk
mati, merupakan salah satu dari empat kekalahan atau pelanggaran besar, yang
mengakibatkan pengeluaran dari Sangha untuk selamanya ( tiga yang lainnya
adalah; Pencurian, Sanggama dan sengaja mengeluarkan pernyataan palsu tentang
pencapaian batiniah ).
Godhika Thera; Pada suatu
kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan
batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana,
beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan
rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau
mencapai kemajuan beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak
enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai
tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa
beristirahat beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit
sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan
berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan
mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.
Ketika Mara
mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan
di mana Godhika Thera tersebut dilahirkan tetapi gagal. Maka, dengan menyamar
seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya di mana Godhika
Thera sekarang.
Sang Buddha menjawab, "Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk
mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral ia
mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh
kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah
meninggal dunia".
"Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila, yang
hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan
Sempurna." (
Dhammapada BAB IV : 57 )
Pengulas
menjelaskan bahwa Godhika Thera berhasil meraih Nibbana karena setelah
menggorok lehernya ( tetapi belum sampai pada ajalnya), ia sempat merenungkan
dan menembus hakikat kehidupan yang fana ini.
Didalam kisah Bhikkhu Vakkhali (yang terkena penyakit kusta sangat parah)
Dikisahkan
bahwa Sepanjang hari dan malam itu Sang Buddha berada di puncak Karang Burung
Nasar. Ketika malam telah berlalu, Beliau memberikan wejangan demikian kepada
para Bhikkhu : " Para Bkhikkhu, pergilah menemui Bhikkhu Vakkhali dan beritahu
dia tentang hal ini :
' Sahabat,
dengarlah apa yang para dewa sampaikan kepada Sang Bhagava : semalam dua orang
dewa yang berwajah gemilang datang menemui Sang Bhagava dan mereka berkata
:" Yang Mulia, hati bhikkhu Vakkhali telah siap untuk menerima
pembebasan". Sedang yang lainnya berkata :"Yang Mulia, ia pasti
memperoleh pembebasan yang sempurna."
Dan Sang
bhagava memberitahu kepadamu hal ini sahabat : '" Jangan takut, Vakkhali,
jangan takut. Kematianmu akan bebas dari kejahatan, akhir hayatmu akan bebas
dari kejahatan.' "
" Baiklah,
Yang Mulia," jawab mereka.
Dan mereka
pergi menemui Yang Mulia Vakkhali dan berkata kepadanya :" Sahabat,
dengarlah pesan dari Sang Bhagava dan dari dewa-dewa...".
Tidak lama
kemudian setelah kepergian mereka, Yang Mulia Vakkhali mempergunakan pisau
untuk membunuh dirinya.
Melihat
kejadian ini Sang Buddha berkata : " Para Bhikkhu, Vakkhali telah mencapai
Nibbana, sehingga kesadarannya tidak berada dimanapun."
Berdasarkan
dua Kisah Bhikkhu yang melakukan bunuh diri tersebut diatas, jelaslah bahwa
dalam pandangan Agama Buddha berbeda dengan pandangan beberapa agama tertentu,
bunuh diri bukanlah suatu "dosa" (Baca: kesalahan)yang tak
terampunkan. Jangankan hanya
kehidupan di Surga, bahkan pencapaian Arahat yang jauh lebih mulia daripada itu
(yang menjadi tujuan akhir bagi setiap umat Buddhis) dapat diraih oleh
seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Agama Buddha
menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan
nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan
penderitaan ini. Manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, bukanlah sekadar "
Aktor panggung kehidupan " yang terikat kontrak dengan Sutradara untuk
melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia yang
diciptakanNYA. Setiap makhluk adalah
pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing.
Dalam
memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada
patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang
mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha
memberikan penilaian yang adil dan sesuai dengan ukurannya.
Bagi seorang
Bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri
adalah pelanggaran Parajika;
suatu kesalahan paling berat (garukapatti)
yang membuatnya terlepas dari pesamuan. Ini adalah suatu kesalahan yang tak
terobati (atekiccha), yang berarti
sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia
adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih pembebasan sejati.
Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat
meraih kesucian apapun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka
lagi kesempatan baginya.
Dalam Agama
Buddha, tidak ada suatu kejahatan apapun dan seberapa-pun beratnya, yang
membuatnya kehilangan hak secara mutlak ( tak berbatas / kekal ) untuk
meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini.
Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai
hukuman yang lebih ringan yaitu pacittiya
;suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di
hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri (bunuh diri),
seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkata; suatu kesalahan yang paling ringan.
Bagi umat
awam, menurut Kitab Tafsiran Saratthadipani
dan Vimativinodani, bunuh
diri tidak termasuk pelanggaran sila karena faktor pembunuhannya tidak
terlengkapi. Pelanggaran sila dalam hal pembunuhan ini harus berobyekkan
makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri.
Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.
Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.
Di sini
terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu
kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat
terhadap pelaku bunuh diri daripada membunuh orang lain. Bagaimanapun, kita
harus mengakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri
sama sekali tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, bagaimana mungkin kita
memvonisnya dengan "dosa" yang tak terampunkan; melebihi "dosa"
yang dilakukan oleh mereka yang membunuh makhluk lain (melanggar hak orang
lain)? ,Seperti halnya orang yang merusak barang (kekayaan) milik orang lain,
patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk
menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.
Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Jawabannya
ialah: jelas melanggar.
Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan "berpikir" untuk melukai
diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apapun yang melalui
ucapan, pikiran maupun jasmani yang membangkitkan keserakahan (lobha),
kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha); semuanya melanggar Dhamma.
- Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha.
- Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.
Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup ?
- Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha.
- Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.
Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup ?
Kita mungkin
bisa mentolerir/ memaklumi upaya bunuh diri karena alasan penyakit akut
(kesehatan). Bagaimana pula dengan alasan-alasan lainnya? Bolehkah seseorang
bunuh diri karena masalah hidup: frustrasi, patah hati ditinggal sang pacar,
gagal dalam bisnis, terlibat hutang-piutang, terlibat kasus-kasus berat dsb.?
Agaknya, persoalannya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Betapapun peliknya
suatu masalah hidup, itu bisa dicarikan jalan keluarnya yang lebih baik (selain
bunuh diri). Paling tidak, itu bisa diatasi dengan mengubah "sikap
hidup" atau "cara pandang".
Permasalahan
hidup adalah penderitaan batiniah. Lain halnya dengan penyakit yang merupakan
penderitaan jasmaniah, meskipun para pakar kedokteran telah berhasil meracik
pelbagai macam obat penyembuh, vaksin, serum, dsb., itu tetap ada
batas-batasnya. Penyakit adalah suatu
"natural force"; yang tak mungkin dapat ditaklukkan secara mutlak
oleh umat manusia (kecuali dengan cara Pembebasan dari kelahiran yang
berulang-ulang sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha). Sejauh ini Agama
Buddha tidak dapat membenarkan upaya bunuh diri karena alasan masalah hidup . .
. !.
Bagaimanapun
keadaannya, seseorang memang tidak patut "membenci" tubuh jasmaninya.
Namun, ia juga tidak sepatutnya untuk "melekati"-nya. Tubuh ini
sesungguhnya tak ubahnya seperti periuk (kendi). Kalau itu memang sudah pecah
dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa kita tidak membuangnya, dan mencari yang
baru, yang lebih baik?
Ada
perumpamaan lain yang bernada sama. Apabila ada orang yang mempunyai jatah atas
baju baru yang lebih indah kemudian ia melepaskan bajunya yang sudah lama,
gelandangan yang menyaksikannya mungkin berpikir, "Orang itu bodoh sekali,
baju masih baik kok dibuang begitu saja.?"
Dalam menilai
sesuatu, kita tidak bisa hanya berpedoman pada takaran duniawi yang rendah
semacam ini dan sepertinya sudah menjadi kecenderungan orang awam untuk melekat
pada kehidupan sekarang ini, dan berusaha untuk mencari kepuasan di dalamnya.
Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi Bhikkhu, misalnya, mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak memanfaatkannya?, Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan kesenangan inderawi, para Bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur daripada kesenangan nafsu inderawi.
Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi Bhikkhu, misalnya, mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak memanfaatkannya?, Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan kesenangan inderawi, para Bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur daripada kesenangan nafsu inderawi.
Demikian
pula halnya dengan kasus Godhika Thera, kita tidak bisa menilainya dengan
menggunakan kemelekatan kita terhadap kehidupan di dunia sekarang ini. Beliau
mempunyai pertimbangan lain sehingga memutuskan hal itu.
Dalam hal
ini, kita tidak mempersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi
kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum
duniawi. Dengan pertanyaan lain yang lebih jelas, haruskah kita melarang dan
menghukum pelaku bunuh diri, ataukah membiarkannya?
Jika kita
mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk
menghalangi kehendak orang lain dalam menentukan kehidupannya sendiri- dalam
arti memilih mati atau tetap hidup dalam penderitaan /kesengsaraan. Asalkan
suatu perbuatan tidak merugikan pihak lain, tidaklah beralasan untuk
menghukumnya.
Seperti
halnya masalah rokok. Kita semua tahu bahwa merokok itu dapat merusak
kesehatan. Cukup beralasan jika kita melarang merokok di tempat-tempat umum
sebab itu dapat membahayakan kehidupan orang lain yang tidak suka merokok.
Tetapi, kalau seseorang merokok dalam kamarnya sendiri, bolehkah kita
menjatuhkan hukuman kepadanya? Demikian pula halnya dengan masalah bunuh diri.
Sepanjang itu tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak
asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan
apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
- Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma?
- Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma?
- Apakah
setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi dalam arti
menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?
- Dapatkah
akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?
Memang,
sebagai orang biasa, sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana
bekerjanya Dalil Kamma yang sangat pelik (kompeks). Hanya seorang
Sammasambuddha yang memiliki kemampuan semacam itu. Namun, haruslah diingat
bahwa Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu
dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan
sekarang (ditthadhamma vedaniya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak
memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis
(ahosi-kamma).
Agama Buddha
memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah
mengajarkan umat-Nya untuk "tunduk" pada akibat kamma. Sikap inilah
yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus
diterima dengan pasrah sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya.
Contoh yang
gamblang dalam hal ini. Seandainya kita digigit nyamuk, kita tentu tidak
membiarkannya begitu saja dengan pandangan; "Biarlah dia (nyamuk itu)
menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau
terlunasi semuanya!". Ini jelas merupakan suatu sikap menerima kamma
lampau yang salah, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak
pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk,
seorang umat Buddha boleh mengusirnya (tanpa harus membunuhnya), atau melakukan
tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb.
Dengan
meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari
segala macam penderitaan/ kesakitan yang dialami tanpa ada sedikit usahapun
untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya.
Ingat ! ...Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme
Ingat ! ...Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme
tentang Hukum Kamma yang mempercayai bahwa Keselamatan / Pembebasan hanya
bisa diperoleh apabila semua hutang kamma terlunasi.
Kehidupan
suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak
terhitung jumlahnya. Jika setiap makhluk harus melunasi setiap akibat kamma
yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil
baginya untuk meraih Pembebasan.
Pandangan Umum.
Pandangan Umum.
Bunuh diri...dalam
keadaan apapun adalah salah secara moral dan spiritual. Seseorang melakukan
Bunuh diri karena ia didorong oleh pikirannya yang penuh dengan keserakahan (
Lobha), Kebencian (Dosa) dan yang paling utama adalah Kegelapan batin (Moha).
Melakukan Bunuh diri karena frustrasi atau kekecewaan hanya akan menyebabkan
penderitaan yang lebih besar lagi.
Bunuh diri
adalah tindakan pengecut untuk menghindari dan mengakhiri masalah dalam
kehidupan yang sedang dihadapi. Seseorang tidak akan melakukan bunuh diri jika
pikirannya tenang dan murni . Jika seseorang meninggal dunia dengan pikiran
yang bingung dan frustrasi, rasanya tidak mungkin ia akan terlahirkan kembali
dalam kondisi yang lebih baik.
Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik dan mulia. Mereka menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara seperti pengorbanan diri sendiri, menembakkan peluru atau mogok makan. Tindakan demikian mungkin tergolong berani dan bernyali, namun bagaimanapun juga dari sudut pandang ajaran Buddha, tindakan demikian tidak dapat dimaklumi. Sang Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaan pikiran bunuh diri mengarah pada penderitaan lebih lanjut.
Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik dan mulia. Mereka menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara seperti pengorbanan diri sendiri, menembakkan peluru atau mogok makan. Tindakan demikian mungkin tergolong berani dan bernyali, namun bagaimanapun juga dari sudut pandang ajaran Buddha, tindakan demikian tidak dapat dimaklumi. Sang Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaan pikiran bunuh diri mengarah pada penderitaan lebih lanjut.
Seluruh
sikap ini sekali lagi membuktikan bahwa ajaran Buddha adalah agama yang positif
, menghargai dan mendukung kehidupan.
Sumber
bacaan :
- Kehidupan
Sang Buddha - Phra Chaluai Sujivo Thera.
- Keyakinan
umat Buddha - Sri Dhammananda
- Sekitar
Masalah bunuh diri - Jan Sanjivaputta
- Hukum
Karma - Tanhadi
- Samyutta
Nikaya - YM. Nyanaponika Mahathera & YM. Piyadassi
Nayaka
Thera.
-
Kisah-kisah Dhammapada - editor : Bhikkhu Jotidhammo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar